Senin, 27 Juli 2009

* Bila Aktivis Dakwah Jatuh Cinta

muda muslim, ternyata cinta juga merupakan ujian sekaligus cobaan buat orang shaleh, ahli ibadah, termasuk aktivis dakwah. Kok bisa? Iya, karena cinta nggak cuma bisa mengubah penampilan aja. Dia juga bisa membelokkan niat yang udah lurus. Komitmen dakwah bisa berubah. Aktivitas dakwah yang awalnya diniatkan untuk mendapat ridho Allah bisa terkontaminasi saat VMJ meradang. Ini yang kudu diwaspadai.

mana aja, kapan aja, dan siapa aja dijamin nggak akan bisa lolos dari serangan virus yang satu ini. Bukan DBD, Flu Bu-rung, atau Worm. Tapi virus yang kekuatannya bisa bikin sang pejuang mati-matian ngapalin lagu melankolis First Love-nya Nika Costa atau Shoulder to Cry On-nya Tommy Page. Meski nilai bahasa Inggris di raport-nya delapan ngakak alias 3! Pede banget kan?

Yup. Virus yang dikenal dengan julukan virus merah jambu (VMJ) pembangkit rasa cinta ini kagak ada matinya. Malah mungkin kita berharap nggak mati-mati. Coz, hidup kita bakal terasa garing bin monoton tanpa kehadiran cinta. Baik cinta kepada yang Maha Pencipta maupun kepada lawan jenis. Ali bin Abdah berkata, �tak mungkin seseorang menghindar dari cinta, kecuali orang yang kasar perangainya, kurang waras, atau tidak mempunyai gairah.� Maka berbahagialah orang-orang yang masih bisa mencintai dan dicintai. Ciee�.Aa Gym banget neh!

Bener sobat, nggak lengkap rasanya jadi manusia kalo kita nggak bisa mencintai dan dicintai. Karena ini fitrah. Jadi wajar aja kalo virus ini merajalela mencari mangsa di setiap kesempatan. Maka di kalangan selebritis dikenal istilah �cilok� alias cinta lokasi. Sebutan untuk pasangan seleb yang terlibat jalinan asmara karena sering ketemu di lokasi syuting.

Ssttt�.jangan bilang-bilang ya. Ternyata di kalangan aktivis dakwah juga ada �cilok� lho. Hah?! Masa� sih? Beneran. Cuma di kalangan jilbaber en jenggot simpatik ini, �cilok� berubah menjadi �CBSA�. Mentang-mentang mayoritas pelajar. Do you know CBSA? Ini nih: Cinta Bersemi Saat Aktif. (ehm..ehm..KLBK euy!) Tapi jangan salah, meski �Cilok� dan �CBSA� sama-sama mengandung unsur cinta, tapi keduanya tetep beda. Kalo �CBSA�, lebih terjaga dari kontaminasi. Sementara �cilok� lebih kepada cinta yang ternodai. Ups!

So, kalo kamu pengen tahu lebih banyak tentang CBSA, kamu bisa tanya guru SD masing-masing. Tapi, kalo penasaran ama �CBSA�, kamu dah bener kalo baca Studia kali ini. Yuuuuk!

ROMANTIKA AKTIVIS DAKWAH
Sobat muda muslim, kalo mengamati pergaulan para aktivis dakwah mungkin ada beberapa pertanyaan yang mampir di benak kita. Apalagi keseharian mereka yang gaul ama sesamanya. Cewek ama cewek. Cowok ama cowok. Kesannya antilawan jenis banget. Apa mereka steril dari rasa cinta? Apa yang ada dalam benak mereka cuma dakwah doang? Apa menjadi aktivis dakwah kudu punya antivirus untuk menghadang VMJ? Apa-apanya dong�eh, kok jadi lagu sih?

Nggak usah dibikin pusing, sampe nyanyiin lagu Nek Titik Puspa gitu. Para aktivis dakwah itu sama aja kayak kita. Sejenis manusia yang punya rasa cinta. Cuma bedanya, mereka nggak show of forces untuk urusan ini. Apalagi sampe deklarasi segala di acara reality show Katakan Cinta atau Playboy Kabel. Nggak lah yauw. Mereka punya prinsip yang bagi sebagian orang terdengar �aneh� dalam hal pengungkapan rasa cinta. Anti-pacaran en nggak phobi ama nikah dini. Catet ya!

Nah, masalahnya, kita sering bertanya-tanya, gimana mungkin bisa terjalin rasa cinta di antara mereka kalo mereka sendiri anti-gaul bebas. Bukankah gaul bebas itu terbukti menjadi media subur untuk memupuk rasa cinta kepada lawan jenis? Eit, jangan salah. Nggak gaul bebas bukan berarti nggak berinteraksi dengan lawan jenis. Emangnya penghuni dunia dakwah cuma satu jenis? Tetep, aktivitas dakwah juga mengharuskan mereka berhubungan dengan lawan jenis. Apalagi yang tergabung dalam sebuah organisasi. Kudu ada konsolidasi dakwah. Inget-inget tuh!

Sebagai aktivis dakwah, tentu konsolidasi itu mengharuskan pihak ikhwan (muslim) menjalin kerjasama dengan para anggota �diva� alias divisi akhwat (muslimah). Saling tukar informasi. Rapat bulanan untuk evaluasi kinerja dakwah sekaligus planning untuk masa mendatang. Sampe tergabung dalam kepanitiaan acara. Dan nggak mungkin kegiatan kayak di atas dilakukan tanpa adanya pertemuan. Walau mungkin rapat bisa aja pake fasilitas teleconference. Tapi itu pasti bakal menyedot banyak biaya. Bisa-bisa acaranya nggak jadi digelar gara-gara nggak ada biaya. Berabe kan?

Nah, dari seringnya pertemuan itulah bisa menyita perhatian khusus antar aktivis. Meski nggak terungkap, VMJ tengah mengamati mangsa yang hendak diburu. Satu sama lain saling menyimpan rasa kagum. Dari sinilah tumbuh perasaan simpati, empati, yang seterusnya bisa bikin jatuh hati. Walau hanya tersimpan rapi dalam diary atau menghiasi relung hati. Intinya, malu-malu tapi mau!

Proses tumbuh dan mewabahnya VMJ di kalangan aktivis, nggak jauh beda dengan �cilok� ala seleb. Cinta bersemi saat aktif dalam dakwah. Makanya kita nggak usah ragu bin worried untuk jadi seorang aktivis dakwah. Pergaulan mereka yang terkesan anti-lawan jenis, hanya salah satu cara buat nunjukkin kalo Islam juga punya aturan maen dalam pergaulan. Justru kita kudu bangga jadi aktivis. Karena untuk urusan jodoh, Allah bakal ngasih pasangan hidup yang �qualified� buat para aktivis pengemban dakwah yang istiqomah.

Firman Allah Swt:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

�Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang (baik) pula.� (QS an-N�r [21]: 26)

MENGENDALIKAN RASA CINTA
Sobat muda muslim, nggak salah kalo cinta bisa mendera siapa aja. Termasuk para aktivis dakwah. Tapi tetep kita kudu waspada ama VMJ ini. Soalnya orang bisa berubah karena kasmaran. Yang pasti nggak berubah jadi Ksatria Baja Hitam. Tapi perubahan yang lambat laun nampak dalam diri kita. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin menuliskan komentar sejumlah orang tentang pengaruh cinta dalam kehidupan seseorang.

Di antaranya sebagai berikut: �Cinta itu bisa menyucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, mendorong untuk berpakaian rapi, makan yang baik-baik, memelihara akhlak yang mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shaleh dan cobaan bagi yang ahli ibadah�.

Nah, lho? Ternyata cinta bukan cuma Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki seperti kata Sheila On Tujuh. Tapi juga merupakan ujian sekaligus cobaan buat orang shaleh, ahli ibadah, termasuk aktivis dakwah. Kok bisa? Iya, karena cinta nggak cuma bisa mengubah penampilan aja. Dia juga bisa membelokkan niat yang udah lurus. Komitmen dakwah bisa berubah. Aktivitas dakwah yang awalnya diniatkan untuk mendapat ridho Allah bisa terkontaminasi saat VMJ meradang. Ini yang kudu diwaspadai.

Tentu kita nggak pengen dong, aktivitas dakwah kita yang mulia jadi kacau-beliau gara-gara kita terpana pesona cinta. Makanya kita kudu pandai mengendalikan rasa itu. Seperti kata dokter, mencegah lebih baik daripada mengobati. Untuk urusan cinta juga sama. Lebih baik kita mencegah aktivitas yang bikin VMJ meradang. Ada dua hal yang bisa kita jalanin sebagai langkah pencegahan (kayak 3M DBD aja neh!).

Pertama, dari dalam diri kita. Di sini kita kuatkan benteng pertahanan dari serangan rasa cinta yang membabi buta. Caranya, rajin puasa sunat. Rasulullah menganjurkan pemuda-pemudi untuk berpuasa sebagai satu perisai takwa. Perbanyak membaca al-Qur�an, shalat tahajjud, dan berdzikir kepada Allah saat godaan itu datang. Perbanyak juga doa kita kepada Allah. Minta kepada-Nya biar kita dijauhin dari perbuatan yang haram, minta juga kepada-Nya biar kita dikasih jodoh yang qualified dunia-akhirat. Mau dong?

Kedua, dari luar diri kita. Ini juga nggak kalah pentingnya. Faktor lingkungan gampang banget meluluhlantakkan pertahanan yang kita bangun. Itu sebabnya, kita kudu bisa menata lingkungan sekitar kita. Misalnya, meminimalisasi pertemuan dan komunikasi dengan lawan jenis. Walau itu untuk konsolidasi dakwah. Sorry, bukannya mo ngerecokin, cuma kita khawatir, jiwa muda kita tak kuasa meredam gejolak rasa cinta itu. Kita juga bisa gaul ama temen-teman yang bisanya nggak cuma manas-manasin doang. Tapi mampu membantu kita menjaga izzah alias harga diri. Sehingga kita bisa belajar menundukkan pandangan. Baik terhadap para �macan� (makhluk cantik) mau pun terhadap media �syerem� yang bisa memacu adrenalin kita.

Kita kudu nyadar kalo seorang aktivis dakwah sering jadi panutan dan teladan bagi orang lain. Nggak cuma Allah yang mengawasi tiap omongan ama tingkah lakunya, tapi juga umat. Gimana jadinya kalo pas ngisi pengajian begitu bersemangat bilang pacaran itu haram. Tapi, pas doi lagi kasmaran, perilakunya nggak beda ama aktivis pacaran. Apalagi pake ngeles dengan istilah �pacaran islami�. Idiih�malu ama umat tuh! Firman Allah Swt: �Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (QS ash-Shaf [61]: 3)

MENENTUKAN PRIORITAS
Sobat muda muslim, kalo kamu udah bisa atau minimal lagi belajar mengendalikan rasa cinta, sekarang kamu udah pantes buat belajar menentukan prioritas. Karena untuk urusan ekspresi cinta, Islam cuma mengatur dua tahap. Khitbah dan nikah. Nggak ada lagi. Masalahnya, kadang para aktivis dakwah yang mayori-tas pelajar terbentur dengan banyak hal sampe kerepotan memilih satu di antara dua pilihan itu. Kalo pun ada yang berani, lebih didominasi faktor emosi. Bisa jadi was-was sang target �disamber� duluan ama yang laen (Emangnya bis kota maen serobot?)

Kalo mau khitbah dulu, kecil kemungkinan bisa bertahan sampe kamu lulus sekolah atau kuliah terus dapet kerja. Bawaannya pasti pengen segera ijab qabul. Padahal, segala kebutuhan keuangan masih disubsidi penuh ama ortu. Bakal berabe ke depannya. Perhatian kamu bakal terpecah. Antara beresin kuliah atau matengin rencana nikah. Bisa-bisa nggak optimal dua-duanya. Padahal kehidupan rumah tangga bakal menuntut suami untuk mencari nafkah materi. Nggak cuma bermodalkan cinta. Sementara ijazah pendidikan pun adakalanya punya peranan bagi sang suami demi memperoleh nafkah.

Nah, kalo udah gini bagusnya kita pusatkan perhatian pada aktivitas tholabul �ilmi yang lagi digeluti. Biar masa depan juga terbingkai dengan rapi. Tapi, bukan berarti kita ngelarang kamu mikirin soal nikah lho. Nggak. Silakan aja kalo kamu mau mulai mempelajari soal pernikahan lebih dalam. Karena terpancing ama senior yang bilang nikah itu nikmat, indah dan ibadah, misalnya. Tapi kamu kudu siap hadapi risiko yang bakal menyedot perhatian kamu. Berani ambil risiko? Pikirkan dengan mateng!

Oke deh sobat. Kita percaya kamu-kamu bisa mengambil pilihan dengan bijak. Jangan sampe CBSA bikin aktivitas dakwah kamu kendor. Catet, sekali lagi kita ngingetin, dakwah itu untuk mendapat ridho Ilahi. Bukan karena orang yang dikasihi. Dan jangan takut keduluan, karena jodoh masing-masing nggak akan kelayapan. Oke? Tetap semangat![]

(by:http://bemmawi-mks.blogspot.com/2008/08/bila-aktivis-dakwah-jatuh-cinta.html)

* Haruskah Saya Berdakwah ?

Setelah melalui tahapan dari tidak mau mendengar kalimat-kalimat Allah (karena kalau ikut pengajian yang di dengar malah serba nggak boleh melakukan ini-itu dan makan ini-itu, serta berbagai ancaman siksa neraka), kemudian menjadi terarik untuk menghadiri majelis ilmu, majelis zikir, pengajian, liqo atau sejenisnya, ghirah agama kita biasanya meningkat dan mulai tertarik untuk lebih mengetahui agama Allah ini.
Untuk apa? Untuk mengisi kekosongan iman selama ini sehingga jiwa kita yang dahaga membutuhkan siraman iman. Bagi yang sudah berkeluarga biasanya ghirah ini menular ke seisi rumah. Artinya jika level ini tetap dipelihara seperti membaca al-qur’an, sholat berjemaah, konsisten hadir pada majelis-mjelis ta’lim serta tetap memelihara diri dari lingkungan dan perbuatan yang tidak baik, insya Allah, paling kurang, iman kita serta keluarga kita (komunitas terkecil dalam masyarakat) dapat terjaga.
Cukup kah sampai di sini saja ? Keliatannya banyak yang sudah puas hanya sampai pada tahapan ini saja, padahal jika kita mengkaji lebih dalam ajaran agama kita, ternyata hal ini tidak cukup sampai di sini saja, karena :
Agama ini adalah nasihat, nasihat pada manusia agar selalu berusaha menjadi lebih baik (sekarang di aplikasikan dalam ISO 14001 dengan spirit of continous improvementnya). Saking pentingnya hal ini, bahkan meskipun usaha itu gagal, Allah tetap mengganjarnya dengan pahala
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (QS. 17:19)
Agama kita sudah jelas memberikan limit-limit yang membentuk seperti bingkai yang di dalamnya kita bisa « bermain ». Jika sumbu X pada bingkai ini menggambarkan hubungan antar sesama manusia/kebendaan (hablun minannaas) sedang sumbu Y hádala hubungan kita dengan Allah (hablun minallah) maka agama islam “menggiring” kita untuk berusaha bergerak ke ara ke arah kanan atas, mengejar dunia sebanyak-banyaknya, sebanyak usaha kita mendekatkan diri pada Allah.
Dalam kegiatan keagamaan, cara yang effektif untuk diambil, agar kita selalu terpelihara dalam kebaikan serta memotivasi diri untuk berusaha lebih maju adalah berdakwah.
Dakwah adalah mengkomunikasikan kebenaran (amar makruf nahyi mungkar) yang hukumnya wajib bagi setiap muslim, pada tingkat apapun keadaan amal dia sebagaimana beramal sholeh adalah wajib, tak peduli serendah apapun kemampuan dia berkomunikasi.
Dakwah bukan hanya ceramah. kita mengobrol, kita meminjamkan buku, kita bertanya di tengah majlis ta’lim tentang satu masalah, hingga jawabannya didengar orang banyak, kita ajak orang mengaji, ikut menghadiri ta’lim dsb dsb kesemuanya itu merupakan kontribusi kita dalam dakwah.
Kecuali berceramah (memberikan tausiah) kita sering kali merasa lebih mudah melaksanakannya. Lain halnya ketika sudah disuruh memberikan tausiah/, seribu satu alasan akan kita ajukan agar kita terhindar dari bentuk kewajiban ini.
Alasan ”sakti” yang biasanya kita pakai untuk menghindar dari kewajiban ini adalah firman Allah:
“Yaa ayyuhaladzina amanuu lima taquluuna ma laa taf’aluuna. Kaburo maktan indallahi antaquluu maalaa taf ‘aluun”
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Alquran Surat As-Shaf:2-3).
Padahal ayat ayat di atas bukan bermakna larangan bagi dakwah, tapi larangan jangan sampai orang berilmu memanipulasi ummat dengan kepintaran kata katanya, orang lain disuruh suruh, sedang dianya sendiri tidak mengerjakan, ia memperalat orang lain dengan ilmu [kita bisa menangkap adanya i’tikad tidak baik dalam kasus ini]. Artinya kalau sudah menyuruh orang, harusnya kita pun melaksanakan. Hal ini mau tidak mau akan menjadi pendorong bagi kita, agar menjadi lebih baik lagi, lagi dan lagi!
Tetapi logika tadi jangan dibalik : “Karena tidak bisa melaksanakan, maka kita jangan menyuruh orang”. Tetapi logika ini yang sering terpateri secara otomatis di dalam hati kita (setidaknya ini berlaku pada saya pribadi)
Sesungguhnya menganjurkan kebaikan tetap mendapat nilai, sepanjang tidak didorong dengan niat memanipulasi, menipu, menciptakan kesan palsu seperti yang telah dijelaskan di atas.
Beberapa hadits mendukung pernyataan ini antara lain
“Barangsiapa yang menganjurkan pada satu kebaikan, maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tanpa mengurangi pahala sipelaku tersebut.”
Artinya kalau kita belum bisa mendapat pahala dengan mengerjakannya sendiri, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya lewat cara menganjurkan orang lain untuk lebih dahulu memperbuatnya. Bagi kita yang telah bisa mengerjakannya, mengapa merasa cukup dengan satu pahala saja, tidakkah ingin berlipat ganda dengan cara menganjurkan orang lain melakukan apa yang telah kita kerjakan ??
Di dalam Al Quran, contoh ”kecil” untuk melaksanakan dakwah adalah menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin. Dan ini sudah merupakan modal awal untuk tidak dikatakan sebagai pendusta agama
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama (QS. 107:1)
Itulah orang yang menghardik anak yatim, (QS. 107:2)
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. 107:3)
Ancamannya (! Lagi nih cerita siksa neraka deh) diakhirat nanti akan ada orang yang dirantai dengan rantai neraka sepanjang 70 hasta, diberi minum darah bercampur nanah, juga karena tidak mau menganjurkan orang lain memberi makan orang miskin (QS. 69:31-37)
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.
Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.
Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.
Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini.
Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.
Dengan mudah kita bisa melihat bahwa menganjurkan orang lain memberi makanan jasmani kepada orang miskin saja sudah demikian besar nilainya, walaupun dianya sendiri tidak mampu memberikan makanan tadi. Sedang jika menganjurkan saja sudah tidak mau, kita lihat betapa mengerikan akibatnya.
Apakah sesudah mendapat penjelasan di atas, hati kita menjadi luluh dan berani bersegera untuk menyampaikan kebaikan? Tentu tidak!
Kita (setidaknya saya pribadi) punya alasan
”Saya malu berdakwah, kelakuan saya sendiri masih amburadul. Saya takut terkena murka, Apa artinya bicara baik bila diri sendiri masih berantakan.”
Heheh, kata siapa bahwa bicara baik itu tidak ada artinya ?
Bicara baik itu sudah bagian dari tanda iman
”man kaana yukminu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khoiron au liyasmut” HR. Bukhori
Bila sudah begitu menurut nabi, terus siapa yang berani mengatakan bicara baik tak berarti ?
Hal ini perlu kita camkan agar sikap perfeksionis (prinsip jika tidak sempurna lebih baik tidak) yang menghambat potensi dakwah ummah tidak merebak luas.
Bila diukur / dibandingkan antara tingkat bahayanya orang yang kelakuannya baik tapi bicaranya salah dengan orang yang kelakuannya buruk tapi pembicaraannya baik, maka daya rusaknya terhadap ummat, yang lebih berbahaya adalah mereka yang manis tingkah lakunya, mempesona akhlaqnya, tapi dari mulutnya keluar fatwa yang salah. Orang percaya dan mengikuti sebab tertarik dengan pribadinya, namun hasilnya Islam dirugikan
Adapun orang yang kelakuannya buruk, sedang perkataannya baik, resiko bagi masyarakat paling paling cuma sekedar “tidak ada yang mau percaya”.
Jadi, apa kita sudah ”menyerah” dan siap bersegera berdakwah.
Belummmmmmm.....
Masih ada jurus berkelit nya
”Mengapa saya harus berdakwah, tidakkah cukup dengan tanggung jawab saya atas diri saya sendiri? Sekarang saya sudah berubah, tidak lagi seperti dulu. Ini saja memerlukan disiplin diri yang kuat, penjagaan yang ketat, kalau saya berdakwah apa malah tidak jadi terpecah konsentrasi ? Saya harus jaga diri, ditambah lagi dengan menjagai prilaku orang lain .....”
Mungkin sebelum ini, kita sempat berkecimpung dalam kelalaian dan kekeliruan, tidakkah kita khawatir kalau kalau ada diantara manusia yang sekarang berbuat ma’shiyyat justru karena terilhami oleh prilaku kita yang dulu dulu ketika masih bersama mereka ?
Tidak mustahil ada yang berani berbuat dosa justru karena kita pernah memperbuatnya. Bila ini terjadi, berarti ada atsar buruk -bekas langkah kita- yang masih tercecer dan terus mengalir.
Ada amal jariyah [amal yang mengalir] yang bila tidak segera dihentikan akan terus menerus menambah berat timbangan keburukan kita, sebab walaupun kita telah berhenti berbuat, tetapi atsar ini tetap ditulis juga sebagai bagian dari yang harus kita pertanggung jawabkan.
Perhatikan Surah Yaasiin [36] : 12 “...dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas bekas yang mereka tinggalkan ...”
Khalifah ‘Umar ra nampaknya menyadari penuh akan bahayanya atsar (bekas) buruk ini, dari itu tercatat dalam sejarah, setelah beliau masuk Islam, maka di tempat tempat mana dulu ia pernah berbuat dosa, beliau kunjungi kembali seraya mengumumkan keislamannya dan mengajak orang kepada Islam.
Ini merupakan salah satu contoh kegigihan menghapus bekas tadi.
Dengan demikian, berdakwah sebenarnya bukan “mengurusi orang lain”, tapi membenahi diri sendiri, jangan sampai ada bekas kejelekan diri yang belum disumbat hingga jadi amal jariyah negatif seperti diulas di atas.
Dakwah pun merupakan usaha kita membebaskan diri dari terlibat dalam ma’shiyyat yang terjadi di depan mata kita. Dinyatakan dalam sebuah hadits shohih bahwa di akhirat nanti akan ada orang yang menarik tangan kita dan berkata : “Ya Allah inilah yang telah mencelakakan saya” Kita mengelak dan berkata : “Bagaimana mungkin saya mencelakakannya padahal saya tidak mengenal dia” Ia akan bilang “Benar Ya Allah, dia tidak kenal akrab dengan saya, tapi dia pernah melihat saya berbuat dosa, dan tidak menegur kesalahan saya itu, andai ia mengingatkan tentu saya tidak akan berketerusan dalam ma’shiyyat”.
Kita tidak akan bisa mungkir lagi sebab filem ketika peristiwa itu terjadi bisa ditayang ulang, sehingga akhirnya kita akan terpojok ketika ditanya : “Mengapa kamu melihat dia berdosa engkau biarkan ...?”
Menghayati surat Al A’raf 164 - 165
Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata:"Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab dengan azab yang amat keras". Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa". (QS. 7:164)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. 7:165)
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa nasib diri kita begitu terancam di akhirat, sudah harus mempertanggung jawabkan kekeliruan sendiri [sebagai manusia, kecil atau besar kita tak pernah luput dari kesalahan] ditambah lagi dengan “ditarik tarik tangan orang” , yang kebetulan di dunia pernah berbuat salah di depan kita dan kita tak berani mendakwahinya ......
Kita punya hutang dakwah kepada semua wajah yang pernah kita lihat, yang ketika dirinya tampak di depan kita, kita tahu ia tengah melakukan kekeliruan. Kita tidak bisa menutup mata yang sebelah lagi untuk urusan ini. Sebab bila selama ini kita ‘menutup sebelah mata’ dengan kema’shiyyatan yang melanda, maka bila kita tutup sebelah lagi (dengan tidak mau belajar dakwah, walaupun hanya lewat obrolan) maka kita sendiri akan menjadi buta !
Dakwah bukanlah menjagai orang lain, tapi memelihara diri sendiri. Ini perlu dicamkan, sebab selama ini banyak orang yang menyamakan arti dakwah dengan “usilan atau memaksa orang seperti maunya kita”.
Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat dengan melakukan amal dakwah yaitu
Kita terlepas dari tuntutan karena tidak mengingatkan orang [S.7:164 - 165] addapun soal takwa dan tidaknya yang didakwahi itu urusan kedua (ma’dzirotan ilaa robbikum, itu yang pertama, baru wa la’allahum yattaquun).
Dimasukkan dalam golongan Ulul Baqiyyah yang dijanjikan beroleh keselamatan, sedang acuh tak acuh dengan dakwah, mementingkan diri sendiri, terancam dapat gelaran dzalim, yaitu mereka yang hidup hanya mementingkan kemewahan dan kesenangan hidup duniawi [lihat S.11:116]
Ikut serta mencegah terjadinya fitnah (kemelut, rusaknya agama, tersebarnya bencana) yang bila itu terjadi, tidak hanya orang dzalim saja yang terkena, termasuk pula orang yang baik baik yang tadinya acuh tak acuh dengan dakwah ! Lihat S.8:25
Dakwah tidak memecahkan konsentrasi kita dalam berdisiplin melaksanakan tha’at justru menambah maraknya suasana jiwa kita dalam berislam. Mengapa ? sebab bukan hanya dilaksanakan tapi kita pun terus menerus membicarakannya. Minimal bila suatu sa’at datang malasnya, kita pun akan tertagih dengan kata kata sendiri. Bukankah ini menguntungkan ?
Daripada sudah diri tidak mengerjakan, kita pun tak pernah pula membicarakan. Apa tidak malah keterusan lupanya ? Bukankah malu dan iman itu dua bagian yang tak terpisahkan [ Al Hadits], bila satu hilang yang satunya pun terancam segera sirna.
Banyak membicarakan kebaikan, membuat kita semakin terikat dengan tuntutan untuk konsekwen, ada rasa malu bila diri sendiri tidak melaksanakan. Dari sudut ini, malu oleh kata kata sendiri adalah pelindung iman terakhir agar tidak cepat menguap.
Antara dakwah dan amal sholeh adalah dua kewajiban yang menjadi hutang kita.. Bagi yang sudah baik amalnya malah tidak ada alasan lagi untuk tidak berdakwah. Sedang bagi yang amalnya masih tercampur [antara baik dan buruk] semoga dengan diawali oleh baiknya perkataan, kelakuannya pun menjadi baik pula bersama sama dengan orang yang diajaknya, Aamiin.
Jadi?
Mesti mengumpulkan keberanian untuk segera berdakwah nih!

(by:http://bemmawi-mks.blogspot.com/2008/08/haruskah-saya-berdakwah-renungan-diri.html)

* Haruskah Saya Berdakwah ?

Setelah melalui tahapan dari tidak mau mendengar kalimat-kalimat Allah (karena kalau ikut pengajian yang di dengar malah serba nggak boleh melakukan ini-itu dan makan ini-itu, serta berbagai ancaman siksa neraka), kemudian menjadi terarik untuk menghadiri majelis ilmu, majelis zikir, pengajian, liqo atau sejenisnya, ghirah agama kita biasanya meningkat dan mulai tertarik untuk lebih mengetahui agama Allah ini.
Untuk apa? Untuk mengisi kekosongan iman selama ini sehingga jiwa kita yang dahaga membutuhkan siraman iman. Bagi yang sudah berkeluarga biasanya ghirah ini menular ke seisi rumah. Artinya jika level ini tetap dipelihara seperti membaca al-qur’an, sholat berjemaah, konsisten hadir pada majelis-mjelis ta’lim serta tetap memelihara diri dari lingkungan dan perbuatan yang tidak baik, insya Allah, paling kurang, iman kita serta keluarga kita (komunitas terkecil dalam masyarakat) dapat terjaga.
Cukup kah sampai di sini saja ? Keliatannya banyak yang sudah puas hanya sampai pada tahapan ini saja, padahal jika kita mengkaji lebih dalam ajaran agama kita, ternyata hal ini tidak cukup sampai di sini saja, karena :
Agama ini adalah nasihat, nasihat pada manusia agar selalu berusaha menjadi lebih baik (sekarang di aplikasikan dalam ISO 14001 dengan spirit of continous improvementnya). Saking pentingnya hal ini, bahkan meskipun usaha itu gagal, Allah tetap mengganjarnya dengan pahala
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (QS. 17:19)
Agama kita sudah jelas memberikan limit-limit yang membentuk seperti bingkai yang di dalamnya kita bisa « bermain ». Jika sumbu X pada bingkai ini menggambarkan hubungan antar sesama manusia/kebendaan (hablun minannaas) sedang sumbu Y hádala hubungan kita dengan Allah (hablun minallah) maka agama islam “menggiring” kita untuk berusaha bergerak ke ara ke arah kanan atas, mengejar dunia sebanyak-banyaknya, sebanyak usaha kita mendekatkan diri pada Allah.
Dalam kegiatan keagamaan, cara yang effektif untuk diambil, agar kita selalu terpelihara dalam kebaikan serta memotivasi diri untuk berusaha lebih maju adalah berdakwah.
Dakwah adalah mengkomunikasikan kebenaran (amar makruf nahyi mungkar) yang hukumnya wajib bagi setiap muslim, pada tingkat apapun keadaan amal dia sebagaimana beramal sholeh adalah wajib, tak peduli serendah apapun kemampuan dia berkomunikasi.
Dakwah bukan hanya ceramah. kita mengobrol, kita meminjamkan buku, kita bertanya di tengah majlis ta’lim tentang satu masalah, hingga jawabannya didengar orang banyak, kita ajak orang mengaji, ikut menghadiri ta’lim dsb dsb kesemuanya itu merupakan kontribusi kita dalam dakwah.
Kecuali berceramah (memberikan tausiah) kita sering kali merasa lebih mudah melaksanakannya. Lain halnya ketika sudah disuruh memberikan tausiah/, seribu satu alasan akan kita ajukan agar kita terhindar dari bentuk kewajiban ini.
Alasan ”sakti” yang biasanya kita pakai untuk menghindar dari kewajiban ini adalah firman Allah:
“Yaa ayyuhaladzina amanuu lima taquluuna ma laa taf’aluuna. Kaburo maktan indallahi antaquluu maalaa taf ‘aluun”
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Alquran Surat As-Shaf:2-3).
Padahal ayat ayat di atas bukan bermakna larangan bagi dakwah, tapi larangan jangan sampai orang berilmu memanipulasi ummat dengan kepintaran kata katanya, orang lain disuruh suruh, sedang dianya sendiri tidak mengerjakan, ia memperalat orang lain dengan ilmu [kita bisa menangkap adanya i’tikad tidak baik dalam kasus ini]. Artinya kalau sudah menyuruh orang, harusnya kita pun melaksanakan. Hal ini mau tidak mau akan menjadi pendorong bagi kita, agar menjadi lebih baik lagi, lagi dan lagi!
Tetapi logika tadi jangan dibalik : “Karena tidak bisa melaksanakan, maka kita jangan menyuruh orang”. Tetapi logika ini yang sering terpateri secara otomatis di dalam hati kita (setidaknya ini berlaku pada saya pribadi)
Sesungguhnya menganjurkan kebaikan tetap mendapat nilai, sepanjang tidak didorong dengan niat memanipulasi, menipu, menciptakan kesan palsu seperti yang telah dijelaskan di atas.
Beberapa hadits mendukung pernyataan ini antara lain
“Barangsiapa yang menganjurkan pada satu kebaikan, maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tanpa mengurangi pahala sipelaku tersebut.”
Artinya kalau kita belum bisa mendapat pahala dengan mengerjakannya sendiri, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya lewat cara menganjurkan orang lain untuk lebih dahulu memperbuatnya. Bagi kita yang telah bisa mengerjakannya, mengapa merasa cukup dengan satu pahala saja, tidakkah ingin berlipat ganda dengan cara menganjurkan orang lain melakukan apa yang telah kita kerjakan ??
Di dalam Al Quran, contoh ”kecil” untuk melaksanakan dakwah adalah menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin. Dan ini sudah merupakan modal awal untuk tidak dikatakan sebagai pendusta agama
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama (QS. 107:1)
Itulah orang yang menghardik anak yatim, (QS. 107:2)
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. 107:3)
Ancamannya (! Lagi nih cerita siksa neraka deh) diakhirat nanti akan ada orang yang dirantai dengan rantai neraka sepanjang 70 hasta, diberi minum darah bercampur nanah, juga karena tidak mau menganjurkan orang lain memberi makan orang miskin (QS. 69:31-37)
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.
Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.
Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.
Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini.
Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.
Dengan mudah kita bisa melihat bahwa menganjurkan orang lain memberi makanan jasmani kepada orang miskin saja sudah demikian besar nilainya, walaupun dianya sendiri tidak mampu memberikan makanan tadi. Sedang jika menganjurkan saja sudah tidak mau, kita lihat betapa mengerikan akibatnya.
Apakah sesudah mendapat penjelasan di atas, hati kita menjadi luluh dan berani bersegera untuk menyampaikan kebaikan? Tentu tidak!
Kita (setidaknya saya pribadi) punya alasan
”Saya malu berdakwah, kelakuan saya sendiri masih amburadul. Saya takut terkena murka, Apa artinya bicara baik bila diri sendiri masih berantakan.”
Heheh, kata siapa bahwa bicara baik itu tidak ada artinya ?
Bicara baik itu sudah bagian dari tanda iman
”man kaana yukminu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khoiron au liyasmut” HR. Bukhori
Bila sudah begitu menurut nabi, terus siapa yang berani mengatakan bicara baik tak berarti ?
Hal ini perlu kita camkan agar sikap perfeksionis (prinsip jika tidak sempurna lebih baik tidak) yang menghambat potensi dakwah ummah tidak merebak luas.
Bila diukur / dibandingkan antara tingkat bahayanya orang yang kelakuannya baik tapi bicaranya salah dengan orang yang kelakuannya buruk tapi pembicaraannya baik, maka daya rusaknya terhadap ummat, yang lebih berbahaya adalah mereka yang manis tingkah lakunya, mempesona akhlaqnya, tapi dari mulutnya keluar fatwa yang salah. Orang percaya dan mengikuti sebab tertarik dengan pribadinya, namun hasilnya Islam dirugikan
Adapun orang yang kelakuannya buruk, sedang perkataannya baik, resiko bagi masyarakat paling paling cuma sekedar “tidak ada yang mau percaya”.
Jadi, apa kita sudah ”menyerah” dan siap bersegera berdakwah.
Belummmmmmm.....
Masih ada jurus berkelit nya
”Mengapa saya harus berdakwah, tidakkah cukup dengan tanggung jawab saya atas diri saya sendiri? Sekarang saya sudah berubah, tidak lagi seperti dulu. Ini saja memerlukan disiplin diri yang kuat, penjagaan yang ketat, kalau saya berdakwah apa malah tidak jadi terpecah konsentrasi ? Saya harus jaga diri, ditambah lagi dengan menjagai prilaku orang lain .....”
Mungkin sebelum ini, kita sempat berkecimpung dalam kelalaian dan kekeliruan, tidakkah kita khawatir kalau kalau ada diantara manusia yang sekarang berbuat ma’shiyyat justru karena terilhami oleh prilaku kita yang dulu dulu ketika masih bersama mereka ?
Tidak mustahil ada yang berani berbuat dosa justru karena kita pernah memperbuatnya. Bila ini terjadi, berarti ada atsar buruk -bekas langkah kita- yang masih tercecer dan terus mengalir.
Ada amal jariyah [amal yang mengalir] yang bila tidak segera dihentikan akan terus menerus menambah berat timbangan keburukan kita, sebab walaupun kita telah berhenti berbuat, tetapi atsar ini tetap ditulis juga sebagai bagian dari yang harus kita pertanggung jawabkan.
Perhatikan Surah Yaasiin [36] : 12 “...dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas bekas yang mereka tinggalkan ...”
Khalifah ‘Umar ra nampaknya menyadari penuh akan bahayanya atsar (bekas) buruk ini, dari itu tercatat dalam sejarah, setelah beliau masuk Islam, maka di tempat tempat mana dulu ia pernah berbuat dosa, beliau kunjungi kembali seraya mengumumkan keislamannya dan mengajak orang kepada Islam.
Ini merupakan salah satu contoh kegigihan menghapus bekas tadi.
Dengan demikian, berdakwah sebenarnya bukan “mengurusi orang lain”, tapi membenahi diri sendiri, jangan sampai ada bekas kejelekan diri yang belum disumbat hingga jadi amal jariyah negatif seperti diulas di atas.
Dakwah pun merupakan usaha kita membebaskan diri dari terlibat dalam ma’shiyyat yang terjadi di depan mata kita. Dinyatakan dalam sebuah hadits shohih bahwa di akhirat nanti akan ada orang yang menarik tangan kita dan berkata : “Ya Allah inilah yang telah mencelakakan saya” Kita mengelak dan berkata : “Bagaimana mungkin saya mencelakakannya padahal saya tidak mengenal dia” Ia akan bilang “Benar Ya Allah, dia tidak kenal akrab dengan saya, tapi dia pernah melihat saya berbuat dosa, dan tidak menegur kesalahan saya itu, andai ia mengingatkan tentu saya tidak akan berketerusan dalam ma’shiyyat”.
Kita tidak akan bisa mungkir lagi sebab filem ketika peristiwa itu terjadi bisa ditayang ulang, sehingga akhirnya kita akan terpojok ketika ditanya : “Mengapa kamu melihat dia berdosa engkau biarkan ...?”
Menghayati surat Al A’raf 164 - 165
Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata:"Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab dengan azab yang amat keras". Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa". (QS. 7:164)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. 7:165)
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa nasib diri kita begitu terancam di akhirat, sudah harus mempertanggung jawabkan kekeliruan sendiri [sebagai manusia, kecil atau besar kita tak pernah luput dari kesalahan] ditambah lagi dengan “ditarik tarik tangan orang” , yang kebetulan di dunia pernah berbuat salah di depan kita dan kita tak berani mendakwahinya ......
Kita punya hutang dakwah kepada semua wajah yang pernah kita lihat, yang ketika dirinya tampak di depan kita, kita tahu ia tengah melakukan kekeliruan. Kita tidak bisa menutup mata yang sebelah lagi untuk urusan ini. Sebab bila selama ini kita ‘menutup sebelah mata’ dengan kema’shiyyatan yang melanda, maka bila kita tutup sebelah lagi (dengan tidak mau belajar dakwah, walaupun hanya lewat obrolan) maka kita sendiri akan menjadi buta !
Dakwah bukanlah menjagai orang lain, tapi memelihara diri sendiri. Ini perlu dicamkan, sebab selama ini banyak orang yang menyamakan arti dakwah dengan “usilan atau memaksa orang seperti maunya kita”.
Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat dengan melakukan amal dakwah yaitu
Kita terlepas dari tuntutan karena tidak mengingatkan orang [S.7:164 - 165] addapun soal takwa dan tidaknya yang didakwahi itu urusan kedua (ma’dzirotan ilaa robbikum, itu yang pertama, baru wa la’allahum yattaquun).
Dimasukkan dalam golongan Ulul Baqiyyah yang dijanjikan beroleh keselamatan, sedang acuh tak acuh dengan dakwah, mementingkan diri sendiri, terancam dapat gelaran dzalim, yaitu mereka yang hidup hanya mementingkan kemewahan dan kesenangan hidup duniawi [lihat S.11:116]
Ikut serta mencegah terjadinya fitnah (kemelut, rusaknya agama, tersebarnya bencana) yang bila itu terjadi, tidak hanya orang dzalim saja yang terkena, termasuk pula orang yang baik baik yang tadinya acuh tak acuh dengan dakwah ! Lihat S.8:25
Dakwah tidak memecahkan konsentrasi kita dalam berdisiplin melaksanakan tha’at justru menambah maraknya suasana jiwa kita dalam berislam. Mengapa ? sebab bukan hanya dilaksanakan tapi kita pun terus menerus membicarakannya. Minimal bila suatu sa’at datang malasnya, kita pun akan tertagih dengan kata kata sendiri. Bukankah ini menguntungkan ?
Daripada sudah diri tidak mengerjakan, kita pun tak pernah pula membicarakan. Apa tidak malah keterusan lupanya ? Bukankah malu dan iman itu dua bagian yang tak terpisahkan [ Al Hadits], bila satu hilang yang satunya pun terancam segera sirna.
Banyak membicarakan kebaikan, membuat kita semakin terikat dengan tuntutan untuk konsekwen, ada rasa malu bila diri sendiri tidak melaksanakan. Dari sudut ini, malu oleh kata kata sendiri adalah pelindung iman terakhir agar tidak cepat menguap.
Antara dakwah dan amal sholeh adalah dua kewajiban yang menjadi hutang kita.. Bagi yang sudah baik amalnya malah tidak ada alasan lagi untuk tidak berdakwah. Sedang bagi yang amalnya masih tercampur [antara baik dan buruk] semoga dengan diawali oleh baiknya perkataan, kelakuannya pun menjadi baik pula bersama sama dengan orang yang diajaknya, Aamiin.
Jadi?
Mesti mengumpulkan keberanian untuk segera berdakwah nih!

(by:http://bemmawi-mks.blogspot.com/2008/08/haruskah-saya-berdakwah-renungan-diri.html)

Tidak Semua Yang Engkau Tahu Harus Diucapkan

Laisa kullu la yu’lamu yuqalu. Tidak semua yang diketahui itu harus terucapkan.Sebab Likulli Maqaamiin maqaalun. Setiap kondisi dan keadaan itu mempunyai perkataan yang tepat. (Atau jika anda mau anda juga bisa mengatakan bahwa setiap perkataan itu memiliki saat dan kondisi yang tepat untuk diucapkan).



Ini adalah sebuah nasehat penting bagi siapa yang diberi karunia ilmu dari Allah. Sebab nampaknya memang sulit untuk dipungkiri bahwa mengetahui saja tidaklah cukup. Karena agar pengetahuan itu jatuh di tempat yang tepat, kita membutuhkan pemahaman. Yang terakhir inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah Fiqh.

Ya, banyak yang tidak mengetahui Dienullah, hanya sedikit saja yang mengetahuinya, dan dari sedikit yang mengetahui itu, semakin sedikit pula yang diberikan pemahaman. Maka untuk orang yang sangat khusus ini, sang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Mengatakan: “Man Yuridullahu bihi khairan yufaqqihhu fiddiin.” Barang siapa yang dikehandaki oleh Allah mendapatkan puncak segala kebahagiaan, Maka Allah akan memahamkannya (membuatnya Faqih) terhadap diennya.

Anda mungkin pernah mendengar nama seorang tabiin besar bernama Waki’ bin Al Jarrah. Kalau anda belum pernah mendengar namanya, tentu Anda sudah sering mendengar nama Imam Asy-syafi’i. Nah, Imam Asy-syafi’i ini adalah murid dari Waki’ bin Al Jarrah itu. Ketika Asy-Syafii mengalami kesulitan menghafal, para sang guru inilah ia mengadu. Nasehat sang Guru kemudian ia abadikan dalam syair yang sangat terkenal :”Kumengadukan pada Waki’ akan hafalanku yang buruk lalu ia menasehatiku agar meninggalkan maksiat karena ilmu itu adalah cahaya Allah. Dan Cahaya itu tak dikaruniakan kepada pelaku Maksiat”. Waki’ bin Al Jarrah ini pernah mengalami kejadian yang sangat menakutkan akibat tergelincir dalam masalah yang di bahas dalan tulisan ini. Tetapi begitulah, setiap Alim di bumi ini akan mempunyai Zallah, ketergelinciran dan ketersalahan. Tidak ada yang maksum kecuali Rasulluah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Entah bagaimana kisahnya, Waki’ pernah mendengarkan sebuah riwayat tentang kisah kematian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kisah itu diriwayatkan dari seorang yang bernama Isma’il Ibn Abi Khalid. Lalu Isma’il ini meriwayatkannya dari Abdullah Al-Bakhi. Nah Abdullah Al Bakhi inilah yang kemudian mengatakan bahwa “Sahabat Abubakar As-shiddiq Radhiallahu ‘Anhu mendatangi Jenazah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian beliau bersimpuh dan menciumnya seraya mengatakan : “Duhai, alangkah indahnya hidup dan kematianmu, Wahai Rasulullah. “ Setelah itu -masih berdasarkan penuturan Abdullah Al-Bahiyy- jenazah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disemayamkan selama satu hari satu malam,hingga perut beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Agak membengkak demikian pula jari beliau.“ Demikianlah riwayat Abdullah Al-Bahiyy yang diterima oleh Waki’ bin Al-Jarrah.

Suatu ketika dalam sebuah dalam sebuah majelis di Mekkah, dia menyampaikan riwayat ini; sebuah riwayat yang sesungguhnya adalah riwayat yang mungkar dan munqathi’ (terputus). Mekkah pun heboh. Apalagi kalangan orang Qurays. Mereka berkumpul dan bersepakat untuk menyalib Waki’ yang dianggap telah melecehkan Rasullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan meriwayatkan kisah tersebut. Padahal niat Waki’ sesungguhnya sangat baik. Ketika ia ditanya mengapa ia menyampaikan riwayat itu ia mengatakan,”beberapa orang sahabat, diantaranya Umar bin Khatab Radhiallahu ‘Anhu tidak mempercayai bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mengalami kematian. Maka berdasarkan riwayat tersebut Allah kemudian menunjukkan kepada mereka beberapa tanda kematian (yaitu anggota tubuh yang berubah yang menjadi agak bengkak)”

Sebuah alasan yang sangat masuk akal Namun orang-orang Qurays sudah terlanjur marah. Mereka telah menyiapkan kayu untuk menyalib Waki’ bin Al-jarrah. Namun untunglah pertolongan Allah segera menghampirinya. Disaat yang genting itu, muncullah Sufyan bin Uyainah. Ia segera saja berteriak, “Demi Allah! Demi Allah! Jangan kalian lakukan itu! Ini adalah Faqihnya negeri Irak ,ayahnya juga seorang Alim besar disana.”

Sedangkan riwayat yang ia sampaikan itu adalah riwayat yang masyhur.” (Dan Sufyan tidak berdusta ketika mengatakan bahwa riwayat itumerupakan riwayat yang Masyhur, sebab sebuah riwayat yang masyhur belum tentu shahih). Padahal seperti kata Sufyan : “Aku belum pernah mendengarkan riwayat itu sebelumnya, Aku hanya ingin menyelamatkan Waki. “

Demikianlah akhir kisah Waki’ bin Al -Jarrah, guru Imam Asy-syafi’i. Seperti kata seorang ahli sejarah besar Adz-Dzahaby. “Kisahnya sungguh aneh. Ia sesungguhnya bermaksud baik. Namun sangat disayangkan saat itu kenapa ia tidak memilih diam dan tidak menyampaikan riwayat itu. Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah mengatakan : “Cukuplah menjadi dosa seseorang bila ia membicarakan setiap apa yang ia pernah dengarkan’....Hampir saja nyawanya melayang.....”

Maka seperti kata-kata hikmah kita pun mengatakan, “.......walaisa kullu maa yuqaalu, yuqaalu fiqulli maqaam.....” -Bila tidak semua yang diketahui itu pantas terucapkan- maka tidak semua yang pantas terucapkan itupun tidak serta merta dapat diucapkan disetiap tempat, waktu, dan orang. Sebuah pesan penting untuk para pemilik ilmu untuk bersikap bijak.
(Sumber : Perindu-Perindu Malam, Abul Miqdad Al-Madani, Mujahid Press)

* Memilih Sekolah Buat Calon Mujahid

Allah Ta'ala Berfirman, yang artinya :
”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang bakal meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir atas kelangsungan hidup mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka menyampaikan perkataan yang benar” (Q.S. 4:9).

Dari ayat diatas kita dapat sebuah gambaran bagaimana mempersiapkan ilmu pengetahuan atau pendidikan kepada anak-anak kita (generasi berikutnya) agar lebih baik dan lebih maju dari pendidikan kita saat ini, karena jaman yang akan mereka hadapi tentu berbeda dengan jaman kita ini.

Namun yang perlu di tekankan disini adalah bagaiman pendidikan yang mencakup intelektualitas itu (tawajun) seimbang dengan sepiritualitas sehinga melahirkan generasi-generasi yang benar-benar mampu menghadapi tantangan jaman yang akan datang.
Dalam hal ini seorang anak jangan dipaksakan hanya untuk meningkatkan kecerdasan dalam hal akademik saja tetapi harus di dukung dengan nilai-nilai keagamaan, sehingga kecerdasan yang ia peroleh tidak akan disalahgunakan sehingga ia mampu menjadi manusia yang pintar dan cerdas dan juga benar. Benar disini sesuai dalam konteks Al-Quran dan Hadist Rasululah tentunya, bukan benar berdasarkan hawanafsu dan kepentingan diri, golongan atau yang lainnya. Selamat mencarikan pendidikan yang benar-benar menciptakan manusia yang Cerdas dan ber-imtaq.
Jawabannya ? Klik di sini…!
Marja : http://seuntaikenanganquran.blogspot.com/

* Tafsir Al-Fatihah As-Sa’di

Surat Al-Fatihah adalah surat yang paling sering kita baca. Dalam satu hari, seorang muslim minimal membacanya sebanyak 17 kali dalam setiap rakaat shalatnya. Untuk lebih menghayati bacaan kita terhadap surat ini di dalam shalat, marilah kita baca bersama tafsir surat ini.
Berikut ini adalah tafsir surat Al-Fatihah ringkas yang kami terjemahkan dari Taisir Karimir Rahman karya As-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.
Beliau berkata di dalam tafsir beliau,
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (1) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (3) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (4) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (7)
بِسْمِ اللهِ
“Dengan nama Allah”
Allah: Memulai dengan seluruh nama Allah ta’ala. Karena lafazh اسم (nama) adalah mufrad mudhaf (kata tunggal yang disandarkan pada sesuatu -pent.), maka ini dibawa kepada keumuman keseluruhan asmaul husna.
Allah berarti Yang Disembah, Yang Diibadahi. Yang berhak untuk ditunggalkan dalam peribadahan, ini karena Allah disifatkan dengan sifat yang termasuk sifat uluhiyah. Sifat ini adalah sifat kesempurnaan.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala memiliki rahmat yang luas dan agung, yang meluas kepada segala sesuatu, meliputi seluruh makhluk hidup. Allah juga menentukan rahmat bagi orang-orang yang bertaqwa, yang mengikuti para nabi dan rasul-Nya. Maka, bagi mereka inilah rahmat yang mutlak. Dan barangsiapa yan berpaling, maka dia tetap mendapatkan bagian rahmat tersebut.
Ketahuilah, sesungguhnya termasuk ke dalam kaidah yang telah disepakati oleh salaful ummah serta para imam adalah beriman kepada nama dan sifat Allah, serta hukum-hukum sifat tersebut.
Sebagai contoh, mereka beriman bahwa Allah itu Rahman dan Rahim. Allah memiliki rahmat, yang dengan sifat rahmat itulah Allah disifati. Sifat ini dikaitkan dengan makhluk yang dirahmati. Maka segala macam kenikmatan merupakan atsar (tanda) dari rahmat Allah. Begitupula dalam setiap nama-nama Allah.
Disebutkan pada sifat Al-Aliim: Allah itu Maha Mengetahui dan memiliki ilmu. Dengan ilmu tersebut Allah mengetahui segala sesuatu. Begitu juga dengan Qadiir: Allah itu memiliki pengaturan, mengatur segala sesuatu.
الْحَمْدُ لِلَّهِ
“Segala puji hanya bagi Allah”
Ini merupakan pujian kepada Allah dengan sifat kesempurnaan. Dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang mencakup di antara keutamaan dan keadilan. Maka bagi-Nyalah pujian yang sempurna dari segala sisi.
رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Rabb semesta alam”
Ar-Rabb adalah yang mengatur semesta alam ini. Alam adalah yang selain Allah ta’ala. Pengaturan Allah dengan menciptakan alam, menyiapkan kebutuhannya, dan memberikan kepada mereka nikmat yang agung yang apabila mereka cari mereka tidak akan dapat memperolehnya dengan kekekalan. Nikmat yang ada pada mereka adalah nikmat dari Allah.
Tarbiyah Allah terhadap ciptaan-Nya ada dua jenis: umum dan khusus.
Adapun yang umum adalah menciptakan para makhluk, memberi rizki kepada mereka, dan menunjuki mereka apa-apa yang memberikan mashlahat bagi mereka, ini merupakan ketetapan bagi mereka di dunia.
Adapun yang khusus adalah tarbiyah Allah bagi para wali-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan iman, memberikan taufiq kepada mereka dengan iman tersebut, menyempurnakan mereka dan mencegah mereka dari berpaling (dari keimanan tersebut –pent). Dan Allah juga mencegah hambatan-hambatan yang memalingkan mereka dari Allah.
Dan hakikatnya adalah tarbiyah taufiq dalam semua kebaikan dan terjaga dari segala macam keburukan. Makna ini merupakan inti keadaan kebanyakan doa para nabi dengan lafzh Rabb, karena seluruh permintaan mereka masuk di bawah rububiyah yang khusus.
Maka firman Allah “Rabbil ‘Aalamiin” menunjukkan keesaan Allah dalam penciptaan, pengaturan nikmat, kesempurnaan kekayaan Allah, serta benar-benar butuhnya yang selain Allah kepada-Nya dari segala sisi.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang Menguasai Hari Pembalasan”
Al-Maalik adalah yang disifati dengan sifat penguasaan yang ditandai dengan dia memerintah dan melarang, memberikan pahala dan hukuman, mengatur apa yang dia kuasai dengan segala bentuk pengaturan. Dan menggolongkan apa yang dia kuasai pada hari pembalasan.
Hari pembalasan adalah hari kiamat. Hari di mana manusia dibalas atas amalan-amalan mereka, yang baik maupun yang buruk. Karena pada hari tersebut, kesempurnaan kerajaan Allah serta keadilan-Nya akan benar nampak sempurna bagi para makhluk. Begitu juga akan nampak keterputusan kekuasaan para makhluk. Sehingga pada hari itu akan sama kedudukannya para raja dan rakyat jelata, seorang budak dan seorang yang merdeka. Semua mereka tunduk karena keagungan Allah, merendah karena kebesaran Allah, mereka menunggu balasan dari Allah, mengharap pahala-Nya, takut akan hukuman-Nya. Oleh karena itulah Allah mengkhususkan penyebutan hal ini (yaitu bahwa Dia penguasa hari pembalasan –pent). Allah-lah yang menguasai hari pembalasan serta hari-hari selainnya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
Artinya, “Kami mengkhususkan Engkau semata dalam peribadahan dan isti’anah (permintaan tolong)”. Karena didahulukannya al-ma’mul (obyek, dalam hal ini adalah kata Engkau (Allah) –pent.) memberikan faedah pembatasan. Yaitu menetapkan hukum bagi yang disebutkan, dan menafikan hukum dari yang selainnya. Ini seolah-olah anda berkata “Kami menyembah kepada-Mu, dan kami tidak menyembah yang selain Engkau. Kami tidak pula meminta pertolongan dari yang selain Engkau”.
Di sini, ibadah didahulukan daripada isti’anah. Maksudnya adalah mendahulukan perkara yang umum baru kemudian yang khusus serta perhatian dengan mendahulukan hak Allah ta’ala daripada hak hamba-Nya.
“Ibadah” adalah sebuah nama yang mengumpulkan perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa amalan maupun ucapan yang zhahir maupun yang batin. “Isti’anah” adalah menyandarkan diri kepada Allah untuk memperoleh manfaat dan menolak mudharat, disertai dengan tsiqah (keyakinan) bahwa Allah-lah yang mewujudkan hal tersebut.
Menegakkan ibadah dan isti’anah kepada Allah merupakan perantara untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi dan selamat dari segala bentuk kejelekan. Tidak ada jalan keberhasilan melainkan dengan menegakkan keduanya. Hanya saja, ibadah itu disebut ibadah jika diambil dari (contohan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dimaksudkan untuk wajah Allah. Dengan dua perkara ini maka dia disebut ibadah.
Penyebutan Isti’anah setelah ibadah -padahal isti’anah itu juga termasuk ke dalam ibadah- adalah karena butuhnya hamba kepada istia’anah kepada Allah dalam setiap peribadahan. Sebab, tanpa pertolongan Allah, dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah tadi
Selanjutnya Allah berfirman,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Maksudnya, “Tunjukkan dan selaraskan kami dengan jalan yang lurus”. Jalan yang lurus adalah jalan yang jelas dan menyampaikan kepada Allah serta surga-Nya. Jalan yang lurus juga maksudnya mengenal kebenaran dan melaksanakannya. Maka tunjukilah kami kami ke jalan tersebut dan berilah kami petunjuk di jalan tersebut.
Petunjuk kepada jalan yang lurus ini adalah tetap di dalam agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun pentunjuk di jalan tersebut mencakup petunjuk untuk mengetahui dan mengamalkan bagian-bagian dari agama.
Doa (”Tunjukkan kami ke jalan yang lurus”, pent.) ini termasuk doa-doa yang mengumpulkan dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk berdoa kepada Allah dengan doa ini pada setiap rakaat shalatnya karena butuhnya dia terhadap hal tersebut.
Jalan yang lurus ini adalah
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat”
Yaitu dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih.
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
“Bukan jalan orang –orang yang Engkau murkai”
Yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran namun mereka meninggalkannya, seperti Yahudi dan yang seperti mereka.
وَلاَ الضَّالِّينَ
“Dan bukanlah jalan orang-orang yang sesat”
Yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan, seperti Nashara dan yang seperti mereka.
KANDUNGAN SURAT AL-FATIHAH
Surat Al-Fatihah ini -dilihat dari cakupannya-, telah diturunkan dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh surat-surat Al-Qur’an lainnya. Surat Al-Fatihah mengandung tauhid yang tiga:
- Tauhid Rububiyah yang diambil dari firman-Nya:
رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Rabb semesta alam”
- Dan tauhid ilahiyah, yaitu mengesakan Allah dengan peribadahan. Diambil dari lafzh (الله) dan dari firman-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
- Serta tauhid asma wa shifat yaitu menetapkan sifat yang sempurna bagi Allah, yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dan yang telah Rasulullah tetapkan pula tanpa ta’thil (penolakan), tamtsil (memisalkan), dan tanpa tasybih (penyerupaan). Hal ini telah ditunjukkan oleh lafzh (الحمد) sebagai yang telah berlalu.
Al-Fatihah juga mengandung penetapan nubuwah (kenabian) dalam firman-Nya,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Karena jalan yang lurus tidak bisa diperoleh tanpa adanya risalah (kenabian).
Surat ini juga menetapkan adanya balasan bagi amalan-amalan dalam firman-Nya:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang Menguasai Hari Pembalasan”
Dan balasan tersebut akan disertai dengan keadilan. Karena kata diin itu bermakna balasan dengan keadilan.
Surat ini juga mengandung penetapan taqdir, dan menetapkan bahwa sesungguhnya hamba itu adalah pelaku amalan yang hakiki. Berbeda dengan aliran Qadariyah dan Jahmiyah.
- Surat ini merupakan bantahan terhadap seluruh ahli bid’ah dan kesesatan dalam firman-Nya,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Karena jalan yang lurus adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Dan setiap pelaku bid’ah dan kesesatan menyelisihi perkara ini.
- Surat ini juga mengandung pengikhlasan agama hanya bagi Allah ta’ala dengan beribadah dan memohon pertolongan dalam firman-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
- فالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ -
*Marja : www.wiramandiri.wordpress.com

Posted by BEM STIBA