Senin, 27 Juli 2009

* Bila Aktivis Dakwah Jatuh Cinta

muda muslim, ternyata cinta juga merupakan ujian sekaligus cobaan buat orang shaleh, ahli ibadah, termasuk aktivis dakwah. Kok bisa? Iya, karena cinta nggak cuma bisa mengubah penampilan aja. Dia juga bisa membelokkan niat yang udah lurus. Komitmen dakwah bisa berubah. Aktivitas dakwah yang awalnya diniatkan untuk mendapat ridho Allah bisa terkontaminasi saat VMJ meradang. Ini yang kudu diwaspadai.

mana aja, kapan aja, dan siapa aja dijamin nggak akan bisa lolos dari serangan virus yang satu ini. Bukan DBD, Flu Bu-rung, atau Worm. Tapi virus yang kekuatannya bisa bikin sang pejuang mati-matian ngapalin lagu melankolis First Love-nya Nika Costa atau Shoulder to Cry On-nya Tommy Page. Meski nilai bahasa Inggris di raport-nya delapan ngakak alias 3! Pede banget kan?

Yup. Virus yang dikenal dengan julukan virus merah jambu (VMJ) pembangkit rasa cinta ini kagak ada matinya. Malah mungkin kita berharap nggak mati-mati. Coz, hidup kita bakal terasa garing bin monoton tanpa kehadiran cinta. Baik cinta kepada yang Maha Pencipta maupun kepada lawan jenis. Ali bin Abdah berkata, �tak mungkin seseorang menghindar dari cinta, kecuali orang yang kasar perangainya, kurang waras, atau tidak mempunyai gairah.� Maka berbahagialah orang-orang yang masih bisa mencintai dan dicintai. Ciee�.Aa Gym banget neh!

Bener sobat, nggak lengkap rasanya jadi manusia kalo kita nggak bisa mencintai dan dicintai. Karena ini fitrah. Jadi wajar aja kalo virus ini merajalela mencari mangsa di setiap kesempatan. Maka di kalangan selebritis dikenal istilah �cilok� alias cinta lokasi. Sebutan untuk pasangan seleb yang terlibat jalinan asmara karena sering ketemu di lokasi syuting.

Ssttt�.jangan bilang-bilang ya. Ternyata di kalangan aktivis dakwah juga ada �cilok� lho. Hah?! Masa� sih? Beneran. Cuma di kalangan jilbaber en jenggot simpatik ini, �cilok� berubah menjadi �CBSA�. Mentang-mentang mayoritas pelajar. Do you know CBSA? Ini nih: Cinta Bersemi Saat Aktif. (ehm..ehm..KLBK euy!) Tapi jangan salah, meski �Cilok� dan �CBSA� sama-sama mengandung unsur cinta, tapi keduanya tetep beda. Kalo �CBSA�, lebih terjaga dari kontaminasi. Sementara �cilok� lebih kepada cinta yang ternodai. Ups!

So, kalo kamu pengen tahu lebih banyak tentang CBSA, kamu bisa tanya guru SD masing-masing. Tapi, kalo penasaran ama �CBSA�, kamu dah bener kalo baca Studia kali ini. Yuuuuk!

ROMANTIKA AKTIVIS DAKWAH
Sobat muda muslim, kalo mengamati pergaulan para aktivis dakwah mungkin ada beberapa pertanyaan yang mampir di benak kita. Apalagi keseharian mereka yang gaul ama sesamanya. Cewek ama cewek. Cowok ama cowok. Kesannya antilawan jenis banget. Apa mereka steril dari rasa cinta? Apa yang ada dalam benak mereka cuma dakwah doang? Apa menjadi aktivis dakwah kudu punya antivirus untuk menghadang VMJ? Apa-apanya dong�eh, kok jadi lagu sih?

Nggak usah dibikin pusing, sampe nyanyiin lagu Nek Titik Puspa gitu. Para aktivis dakwah itu sama aja kayak kita. Sejenis manusia yang punya rasa cinta. Cuma bedanya, mereka nggak show of forces untuk urusan ini. Apalagi sampe deklarasi segala di acara reality show Katakan Cinta atau Playboy Kabel. Nggak lah yauw. Mereka punya prinsip yang bagi sebagian orang terdengar �aneh� dalam hal pengungkapan rasa cinta. Anti-pacaran en nggak phobi ama nikah dini. Catet ya!

Nah, masalahnya, kita sering bertanya-tanya, gimana mungkin bisa terjalin rasa cinta di antara mereka kalo mereka sendiri anti-gaul bebas. Bukankah gaul bebas itu terbukti menjadi media subur untuk memupuk rasa cinta kepada lawan jenis? Eit, jangan salah. Nggak gaul bebas bukan berarti nggak berinteraksi dengan lawan jenis. Emangnya penghuni dunia dakwah cuma satu jenis? Tetep, aktivitas dakwah juga mengharuskan mereka berhubungan dengan lawan jenis. Apalagi yang tergabung dalam sebuah organisasi. Kudu ada konsolidasi dakwah. Inget-inget tuh!

Sebagai aktivis dakwah, tentu konsolidasi itu mengharuskan pihak ikhwan (muslim) menjalin kerjasama dengan para anggota �diva� alias divisi akhwat (muslimah). Saling tukar informasi. Rapat bulanan untuk evaluasi kinerja dakwah sekaligus planning untuk masa mendatang. Sampe tergabung dalam kepanitiaan acara. Dan nggak mungkin kegiatan kayak di atas dilakukan tanpa adanya pertemuan. Walau mungkin rapat bisa aja pake fasilitas teleconference. Tapi itu pasti bakal menyedot banyak biaya. Bisa-bisa acaranya nggak jadi digelar gara-gara nggak ada biaya. Berabe kan?

Nah, dari seringnya pertemuan itulah bisa menyita perhatian khusus antar aktivis. Meski nggak terungkap, VMJ tengah mengamati mangsa yang hendak diburu. Satu sama lain saling menyimpan rasa kagum. Dari sinilah tumbuh perasaan simpati, empati, yang seterusnya bisa bikin jatuh hati. Walau hanya tersimpan rapi dalam diary atau menghiasi relung hati. Intinya, malu-malu tapi mau!

Proses tumbuh dan mewabahnya VMJ di kalangan aktivis, nggak jauh beda dengan �cilok� ala seleb. Cinta bersemi saat aktif dalam dakwah. Makanya kita nggak usah ragu bin worried untuk jadi seorang aktivis dakwah. Pergaulan mereka yang terkesan anti-lawan jenis, hanya salah satu cara buat nunjukkin kalo Islam juga punya aturan maen dalam pergaulan. Justru kita kudu bangga jadi aktivis. Karena untuk urusan jodoh, Allah bakal ngasih pasangan hidup yang �qualified� buat para aktivis pengemban dakwah yang istiqomah.

Firman Allah Swt:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

�Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang (baik) pula.� (QS an-N�r [21]: 26)

MENGENDALIKAN RASA CINTA
Sobat muda muslim, nggak salah kalo cinta bisa mendera siapa aja. Termasuk para aktivis dakwah. Tapi tetep kita kudu waspada ama VMJ ini. Soalnya orang bisa berubah karena kasmaran. Yang pasti nggak berubah jadi Ksatria Baja Hitam. Tapi perubahan yang lambat laun nampak dalam diri kita. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin menuliskan komentar sejumlah orang tentang pengaruh cinta dalam kehidupan seseorang.

Di antaranya sebagai berikut: �Cinta itu bisa menyucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, mendorong untuk berpakaian rapi, makan yang baik-baik, memelihara akhlak yang mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shaleh dan cobaan bagi yang ahli ibadah�.

Nah, lho? Ternyata cinta bukan cuma Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki seperti kata Sheila On Tujuh. Tapi juga merupakan ujian sekaligus cobaan buat orang shaleh, ahli ibadah, termasuk aktivis dakwah. Kok bisa? Iya, karena cinta nggak cuma bisa mengubah penampilan aja. Dia juga bisa membelokkan niat yang udah lurus. Komitmen dakwah bisa berubah. Aktivitas dakwah yang awalnya diniatkan untuk mendapat ridho Allah bisa terkontaminasi saat VMJ meradang. Ini yang kudu diwaspadai.

Tentu kita nggak pengen dong, aktivitas dakwah kita yang mulia jadi kacau-beliau gara-gara kita terpana pesona cinta. Makanya kita kudu pandai mengendalikan rasa itu. Seperti kata dokter, mencegah lebih baik daripada mengobati. Untuk urusan cinta juga sama. Lebih baik kita mencegah aktivitas yang bikin VMJ meradang. Ada dua hal yang bisa kita jalanin sebagai langkah pencegahan (kayak 3M DBD aja neh!).

Pertama, dari dalam diri kita. Di sini kita kuatkan benteng pertahanan dari serangan rasa cinta yang membabi buta. Caranya, rajin puasa sunat. Rasulullah menganjurkan pemuda-pemudi untuk berpuasa sebagai satu perisai takwa. Perbanyak membaca al-Qur�an, shalat tahajjud, dan berdzikir kepada Allah saat godaan itu datang. Perbanyak juga doa kita kepada Allah. Minta kepada-Nya biar kita dijauhin dari perbuatan yang haram, minta juga kepada-Nya biar kita dikasih jodoh yang qualified dunia-akhirat. Mau dong?

Kedua, dari luar diri kita. Ini juga nggak kalah pentingnya. Faktor lingkungan gampang banget meluluhlantakkan pertahanan yang kita bangun. Itu sebabnya, kita kudu bisa menata lingkungan sekitar kita. Misalnya, meminimalisasi pertemuan dan komunikasi dengan lawan jenis. Walau itu untuk konsolidasi dakwah. Sorry, bukannya mo ngerecokin, cuma kita khawatir, jiwa muda kita tak kuasa meredam gejolak rasa cinta itu. Kita juga bisa gaul ama temen-teman yang bisanya nggak cuma manas-manasin doang. Tapi mampu membantu kita menjaga izzah alias harga diri. Sehingga kita bisa belajar menundukkan pandangan. Baik terhadap para �macan� (makhluk cantik) mau pun terhadap media �syerem� yang bisa memacu adrenalin kita.

Kita kudu nyadar kalo seorang aktivis dakwah sering jadi panutan dan teladan bagi orang lain. Nggak cuma Allah yang mengawasi tiap omongan ama tingkah lakunya, tapi juga umat. Gimana jadinya kalo pas ngisi pengajian begitu bersemangat bilang pacaran itu haram. Tapi, pas doi lagi kasmaran, perilakunya nggak beda ama aktivis pacaran. Apalagi pake ngeles dengan istilah �pacaran islami�. Idiih�malu ama umat tuh! Firman Allah Swt: �Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (QS ash-Shaf [61]: 3)

MENENTUKAN PRIORITAS
Sobat muda muslim, kalo kamu udah bisa atau minimal lagi belajar mengendalikan rasa cinta, sekarang kamu udah pantes buat belajar menentukan prioritas. Karena untuk urusan ekspresi cinta, Islam cuma mengatur dua tahap. Khitbah dan nikah. Nggak ada lagi. Masalahnya, kadang para aktivis dakwah yang mayori-tas pelajar terbentur dengan banyak hal sampe kerepotan memilih satu di antara dua pilihan itu. Kalo pun ada yang berani, lebih didominasi faktor emosi. Bisa jadi was-was sang target �disamber� duluan ama yang laen (Emangnya bis kota maen serobot?)

Kalo mau khitbah dulu, kecil kemungkinan bisa bertahan sampe kamu lulus sekolah atau kuliah terus dapet kerja. Bawaannya pasti pengen segera ijab qabul. Padahal, segala kebutuhan keuangan masih disubsidi penuh ama ortu. Bakal berabe ke depannya. Perhatian kamu bakal terpecah. Antara beresin kuliah atau matengin rencana nikah. Bisa-bisa nggak optimal dua-duanya. Padahal kehidupan rumah tangga bakal menuntut suami untuk mencari nafkah materi. Nggak cuma bermodalkan cinta. Sementara ijazah pendidikan pun adakalanya punya peranan bagi sang suami demi memperoleh nafkah.

Nah, kalo udah gini bagusnya kita pusatkan perhatian pada aktivitas tholabul �ilmi yang lagi digeluti. Biar masa depan juga terbingkai dengan rapi. Tapi, bukan berarti kita ngelarang kamu mikirin soal nikah lho. Nggak. Silakan aja kalo kamu mau mulai mempelajari soal pernikahan lebih dalam. Karena terpancing ama senior yang bilang nikah itu nikmat, indah dan ibadah, misalnya. Tapi kamu kudu siap hadapi risiko yang bakal menyedot perhatian kamu. Berani ambil risiko? Pikirkan dengan mateng!

Oke deh sobat. Kita percaya kamu-kamu bisa mengambil pilihan dengan bijak. Jangan sampe CBSA bikin aktivitas dakwah kamu kendor. Catet, sekali lagi kita ngingetin, dakwah itu untuk mendapat ridho Ilahi. Bukan karena orang yang dikasihi. Dan jangan takut keduluan, karena jodoh masing-masing nggak akan kelayapan. Oke? Tetap semangat![]

(by:http://bemmawi-mks.blogspot.com/2008/08/bila-aktivis-dakwah-jatuh-cinta.html)

* Haruskah Saya Berdakwah ?

Setelah melalui tahapan dari tidak mau mendengar kalimat-kalimat Allah (karena kalau ikut pengajian yang di dengar malah serba nggak boleh melakukan ini-itu dan makan ini-itu, serta berbagai ancaman siksa neraka), kemudian menjadi terarik untuk menghadiri majelis ilmu, majelis zikir, pengajian, liqo atau sejenisnya, ghirah agama kita biasanya meningkat dan mulai tertarik untuk lebih mengetahui agama Allah ini.
Untuk apa? Untuk mengisi kekosongan iman selama ini sehingga jiwa kita yang dahaga membutuhkan siraman iman. Bagi yang sudah berkeluarga biasanya ghirah ini menular ke seisi rumah. Artinya jika level ini tetap dipelihara seperti membaca al-qur’an, sholat berjemaah, konsisten hadir pada majelis-mjelis ta’lim serta tetap memelihara diri dari lingkungan dan perbuatan yang tidak baik, insya Allah, paling kurang, iman kita serta keluarga kita (komunitas terkecil dalam masyarakat) dapat terjaga.
Cukup kah sampai di sini saja ? Keliatannya banyak yang sudah puas hanya sampai pada tahapan ini saja, padahal jika kita mengkaji lebih dalam ajaran agama kita, ternyata hal ini tidak cukup sampai di sini saja, karena :
Agama ini adalah nasihat, nasihat pada manusia agar selalu berusaha menjadi lebih baik (sekarang di aplikasikan dalam ISO 14001 dengan spirit of continous improvementnya). Saking pentingnya hal ini, bahkan meskipun usaha itu gagal, Allah tetap mengganjarnya dengan pahala
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (QS. 17:19)
Agama kita sudah jelas memberikan limit-limit yang membentuk seperti bingkai yang di dalamnya kita bisa « bermain ». Jika sumbu X pada bingkai ini menggambarkan hubungan antar sesama manusia/kebendaan (hablun minannaas) sedang sumbu Y hádala hubungan kita dengan Allah (hablun minallah) maka agama islam “menggiring” kita untuk berusaha bergerak ke ara ke arah kanan atas, mengejar dunia sebanyak-banyaknya, sebanyak usaha kita mendekatkan diri pada Allah.
Dalam kegiatan keagamaan, cara yang effektif untuk diambil, agar kita selalu terpelihara dalam kebaikan serta memotivasi diri untuk berusaha lebih maju adalah berdakwah.
Dakwah adalah mengkomunikasikan kebenaran (amar makruf nahyi mungkar) yang hukumnya wajib bagi setiap muslim, pada tingkat apapun keadaan amal dia sebagaimana beramal sholeh adalah wajib, tak peduli serendah apapun kemampuan dia berkomunikasi.
Dakwah bukan hanya ceramah. kita mengobrol, kita meminjamkan buku, kita bertanya di tengah majlis ta’lim tentang satu masalah, hingga jawabannya didengar orang banyak, kita ajak orang mengaji, ikut menghadiri ta’lim dsb dsb kesemuanya itu merupakan kontribusi kita dalam dakwah.
Kecuali berceramah (memberikan tausiah) kita sering kali merasa lebih mudah melaksanakannya. Lain halnya ketika sudah disuruh memberikan tausiah/, seribu satu alasan akan kita ajukan agar kita terhindar dari bentuk kewajiban ini.
Alasan ”sakti” yang biasanya kita pakai untuk menghindar dari kewajiban ini adalah firman Allah:
“Yaa ayyuhaladzina amanuu lima taquluuna ma laa taf’aluuna. Kaburo maktan indallahi antaquluu maalaa taf ‘aluun”
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Alquran Surat As-Shaf:2-3).
Padahal ayat ayat di atas bukan bermakna larangan bagi dakwah, tapi larangan jangan sampai orang berilmu memanipulasi ummat dengan kepintaran kata katanya, orang lain disuruh suruh, sedang dianya sendiri tidak mengerjakan, ia memperalat orang lain dengan ilmu [kita bisa menangkap adanya i’tikad tidak baik dalam kasus ini]. Artinya kalau sudah menyuruh orang, harusnya kita pun melaksanakan. Hal ini mau tidak mau akan menjadi pendorong bagi kita, agar menjadi lebih baik lagi, lagi dan lagi!
Tetapi logika tadi jangan dibalik : “Karena tidak bisa melaksanakan, maka kita jangan menyuruh orang”. Tetapi logika ini yang sering terpateri secara otomatis di dalam hati kita (setidaknya ini berlaku pada saya pribadi)
Sesungguhnya menganjurkan kebaikan tetap mendapat nilai, sepanjang tidak didorong dengan niat memanipulasi, menipu, menciptakan kesan palsu seperti yang telah dijelaskan di atas.
Beberapa hadits mendukung pernyataan ini antara lain
“Barangsiapa yang menganjurkan pada satu kebaikan, maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tanpa mengurangi pahala sipelaku tersebut.”
Artinya kalau kita belum bisa mendapat pahala dengan mengerjakannya sendiri, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya lewat cara menganjurkan orang lain untuk lebih dahulu memperbuatnya. Bagi kita yang telah bisa mengerjakannya, mengapa merasa cukup dengan satu pahala saja, tidakkah ingin berlipat ganda dengan cara menganjurkan orang lain melakukan apa yang telah kita kerjakan ??
Di dalam Al Quran, contoh ”kecil” untuk melaksanakan dakwah adalah menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin. Dan ini sudah merupakan modal awal untuk tidak dikatakan sebagai pendusta agama
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama (QS. 107:1)
Itulah orang yang menghardik anak yatim, (QS. 107:2)
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. 107:3)
Ancamannya (! Lagi nih cerita siksa neraka deh) diakhirat nanti akan ada orang yang dirantai dengan rantai neraka sepanjang 70 hasta, diberi minum darah bercampur nanah, juga karena tidak mau menganjurkan orang lain memberi makan orang miskin (QS. 69:31-37)
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.
Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.
Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.
Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini.
Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.
Dengan mudah kita bisa melihat bahwa menganjurkan orang lain memberi makanan jasmani kepada orang miskin saja sudah demikian besar nilainya, walaupun dianya sendiri tidak mampu memberikan makanan tadi. Sedang jika menganjurkan saja sudah tidak mau, kita lihat betapa mengerikan akibatnya.
Apakah sesudah mendapat penjelasan di atas, hati kita menjadi luluh dan berani bersegera untuk menyampaikan kebaikan? Tentu tidak!
Kita (setidaknya saya pribadi) punya alasan
”Saya malu berdakwah, kelakuan saya sendiri masih amburadul. Saya takut terkena murka, Apa artinya bicara baik bila diri sendiri masih berantakan.”
Heheh, kata siapa bahwa bicara baik itu tidak ada artinya ?
Bicara baik itu sudah bagian dari tanda iman
”man kaana yukminu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khoiron au liyasmut” HR. Bukhori
Bila sudah begitu menurut nabi, terus siapa yang berani mengatakan bicara baik tak berarti ?
Hal ini perlu kita camkan agar sikap perfeksionis (prinsip jika tidak sempurna lebih baik tidak) yang menghambat potensi dakwah ummah tidak merebak luas.
Bila diukur / dibandingkan antara tingkat bahayanya orang yang kelakuannya baik tapi bicaranya salah dengan orang yang kelakuannya buruk tapi pembicaraannya baik, maka daya rusaknya terhadap ummat, yang lebih berbahaya adalah mereka yang manis tingkah lakunya, mempesona akhlaqnya, tapi dari mulutnya keluar fatwa yang salah. Orang percaya dan mengikuti sebab tertarik dengan pribadinya, namun hasilnya Islam dirugikan
Adapun orang yang kelakuannya buruk, sedang perkataannya baik, resiko bagi masyarakat paling paling cuma sekedar “tidak ada yang mau percaya”.
Jadi, apa kita sudah ”menyerah” dan siap bersegera berdakwah.
Belummmmmmm.....
Masih ada jurus berkelit nya
”Mengapa saya harus berdakwah, tidakkah cukup dengan tanggung jawab saya atas diri saya sendiri? Sekarang saya sudah berubah, tidak lagi seperti dulu. Ini saja memerlukan disiplin diri yang kuat, penjagaan yang ketat, kalau saya berdakwah apa malah tidak jadi terpecah konsentrasi ? Saya harus jaga diri, ditambah lagi dengan menjagai prilaku orang lain .....”
Mungkin sebelum ini, kita sempat berkecimpung dalam kelalaian dan kekeliruan, tidakkah kita khawatir kalau kalau ada diantara manusia yang sekarang berbuat ma’shiyyat justru karena terilhami oleh prilaku kita yang dulu dulu ketika masih bersama mereka ?
Tidak mustahil ada yang berani berbuat dosa justru karena kita pernah memperbuatnya. Bila ini terjadi, berarti ada atsar buruk -bekas langkah kita- yang masih tercecer dan terus mengalir.
Ada amal jariyah [amal yang mengalir] yang bila tidak segera dihentikan akan terus menerus menambah berat timbangan keburukan kita, sebab walaupun kita telah berhenti berbuat, tetapi atsar ini tetap ditulis juga sebagai bagian dari yang harus kita pertanggung jawabkan.
Perhatikan Surah Yaasiin [36] : 12 “...dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas bekas yang mereka tinggalkan ...”
Khalifah ‘Umar ra nampaknya menyadari penuh akan bahayanya atsar (bekas) buruk ini, dari itu tercatat dalam sejarah, setelah beliau masuk Islam, maka di tempat tempat mana dulu ia pernah berbuat dosa, beliau kunjungi kembali seraya mengumumkan keislamannya dan mengajak orang kepada Islam.
Ini merupakan salah satu contoh kegigihan menghapus bekas tadi.
Dengan demikian, berdakwah sebenarnya bukan “mengurusi orang lain”, tapi membenahi diri sendiri, jangan sampai ada bekas kejelekan diri yang belum disumbat hingga jadi amal jariyah negatif seperti diulas di atas.
Dakwah pun merupakan usaha kita membebaskan diri dari terlibat dalam ma’shiyyat yang terjadi di depan mata kita. Dinyatakan dalam sebuah hadits shohih bahwa di akhirat nanti akan ada orang yang menarik tangan kita dan berkata : “Ya Allah inilah yang telah mencelakakan saya” Kita mengelak dan berkata : “Bagaimana mungkin saya mencelakakannya padahal saya tidak mengenal dia” Ia akan bilang “Benar Ya Allah, dia tidak kenal akrab dengan saya, tapi dia pernah melihat saya berbuat dosa, dan tidak menegur kesalahan saya itu, andai ia mengingatkan tentu saya tidak akan berketerusan dalam ma’shiyyat”.
Kita tidak akan bisa mungkir lagi sebab filem ketika peristiwa itu terjadi bisa ditayang ulang, sehingga akhirnya kita akan terpojok ketika ditanya : “Mengapa kamu melihat dia berdosa engkau biarkan ...?”
Menghayati surat Al A’raf 164 - 165
Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata:"Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab dengan azab yang amat keras". Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa". (QS. 7:164)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. 7:165)
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa nasib diri kita begitu terancam di akhirat, sudah harus mempertanggung jawabkan kekeliruan sendiri [sebagai manusia, kecil atau besar kita tak pernah luput dari kesalahan] ditambah lagi dengan “ditarik tarik tangan orang” , yang kebetulan di dunia pernah berbuat salah di depan kita dan kita tak berani mendakwahinya ......
Kita punya hutang dakwah kepada semua wajah yang pernah kita lihat, yang ketika dirinya tampak di depan kita, kita tahu ia tengah melakukan kekeliruan. Kita tidak bisa menutup mata yang sebelah lagi untuk urusan ini. Sebab bila selama ini kita ‘menutup sebelah mata’ dengan kema’shiyyatan yang melanda, maka bila kita tutup sebelah lagi (dengan tidak mau belajar dakwah, walaupun hanya lewat obrolan) maka kita sendiri akan menjadi buta !
Dakwah bukanlah menjagai orang lain, tapi memelihara diri sendiri. Ini perlu dicamkan, sebab selama ini banyak orang yang menyamakan arti dakwah dengan “usilan atau memaksa orang seperti maunya kita”.
Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat dengan melakukan amal dakwah yaitu
Kita terlepas dari tuntutan karena tidak mengingatkan orang [S.7:164 - 165] addapun soal takwa dan tidaknya yang didakwahi itu urusan kedua (ma’dzirotan ilaa robbikum, itu yang pertama, baru wa la’allahum yattaquun).
Dimasukkan dalam golongan Ulul Baqiyyah yang dijanjikan beroleh keselamatan, sedang acuh tak acuh dengan dakwah, mementingkan diri sendiri, terancam dapat gelaran dzalim, yaitu mereka yang hidup hanya mementingkan kemewahan dan kesenangan hidup duniawi [lihat S.11:116]
Ikut serta mencegah terjadinya fitnah (kemelut, rusaknya agama, tersebarnya bencana) yang bila itu terjadi, tidak hanya orang dzalim saja yang terkena, termasuk pula orang yang baik baik yang tadinya acuh tak acuh dengan dakwah ! Lihat S.8:25
Dakwah tidak memecahkan konsentrasi kita dalam berdisiplin melaksanakan tha’at justru menambah maraknya suasana jiwa kita dalam berislam. Mengapa ? sebab bukan hanya dilaksanakan tapi kita pun terus menerus membicarakannya. Minimal bila suatu sa’at datang malasnya, kita pun akan tertagih dengan kata kata sendiri. Bukankah ini menguntungkan ?
Daripada sudah diri tidak mengerjakan, kita pun tak pernah pula membicarakan. Apa tidak malah keterusan lupanya ? Bukankah malu dan iman itu dua bagian yang tak terpisahkan [ Al Hadits], bila satu hilang yang satunya pun terancam segera sirna.
Banyak membicarakan kebaikan, membuat kita semakin terikat dengan tuntutan untuk konsekwen, ada rasa malu bila diri sendiri tidak melaksanakan. Dari sudut ini, malu oleh kata kata sendiri adalah pelindung iman terakhir agar tidak cepat menguap.
Antara dakwah dan amal sholeh adalah dua kewajiban yang menjadi hutang kita.. Bagi yang sudah baik amalnya malah tidak ada alasan lagi untuk tidak berdakwah. Sedang bagi yang amalnya masih tercampur [antara baik dan buruk] semoga dengan diawali oleh baiknya perkataan, kelakuannya pun menjadi baik pula bersama sama dengan orang yang diajaknya, Aamiin.
Jadi?
Mesti mengumpulkan keberanian untuk segera berdakwah nih!

(by:http://bemmawi-mks.blogspot.com/2008/08/haruskah-saya-berdakwah-renungan-diri.html)

* Haruskah Saya Berdakwah ?

Setelah melalui tahapan dari tidak mau mendengar kalimat-kalimat Allah (karena kalau ikut pengajian yang di dengar malah serba nggak boleh melakukan ini-itu dan makan ini-itu, serta berbagai ancaman siksa neraka), kemudian menjadi terarik untuk menghadiri majelis ilmu, majelis zikir, pengajian, liqo atau sejenisnya, ghirah agama kita biasanya meningkat dan mulai tertarik untuk lebih mengetahui agama Allah ini.
Untuk apa? Untuk mengisi kekosongan iman selama ini sehingga jiwa kita yang dahaga membutuhkan siraman iman. Bagi yang sudah berkeluarga biasanya ghirah ini menular ke seisi rumah. Artinya jika level ini tetap dipelihara seperti membaca al-qur’an, sholat berjemaah, konsisten hadir pada majelis-mjelis ta’lim serta tetap memelihara diri dari lingkungan dan perbuatan yang tidak baik, insya Allah, paling kurang, iman kita serta keluarga kita (komunitas terkecil dalam masyarakat) dapat terjaga.
Cukup kah sampai di sini saja ? Keliatannya banyak yang sudah puas hanya sampai pada tahapan ini saja, padahal jika kita mengkaji lebih dalam ajaran agama kita, ternyata hal ini tidak cukup sampai di sini saja, karena :
Agama ini adalah nasihat, nasihat pada manusia agar selalu berusaha menjadi lebih baik (sekarang di aplikasikan dalam ISO 14001 dengan spirit of continous improvementnya). Saking pentingnya hal ini, bahkan meskipun usaha itu gagal, Allah tetap mengganjarnya dengan pahala
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (QS. 17:19)
Agama kita sudah jelas memberikan limit-limit yang membentuk seperti bingkai yang di dalamnya kita bisa « bermain ». Jika sumbu X pada bingkai ini menggambarkan hubungan antar sesama manusia/kebendaan (hablun minannaas) sedang sumbu Y hádala hubungan kita dengan Allah (hablun minallah) maka agama islam “menggiring” kita untuk berusaha bergerak ke ara ke arah kanan atas, mengejar dunia sebanyak-banyaknya, sebanyak usaha kita mendekatkan diri pada Allah.
Dalam kegiatan keagamaan, cara yang effektif untuk diambil, agar kita selalu terpelihara dalam kebaikan serta memotivasi diri untuk berusaha lebih maju adalah berdakwah.
Dakwah adalah mengkomunikasikan kebenaran (amar makruf nahyi mungkar) yang hukumnya wajib bagi setiap muslim, pada tingkat apapun keadaan amal dia sebagaimana beramal sholeh adalah wajib, tak peduli serendah apapun kemampuan dia berkomunikasi.
Dakwah bukan hanya ceramah. kita mengobrol, kita meminjamkan buku, kita bertanya di tengah majlis ta’lim tentang satu masalah, hingga jawabannya didengar orang banyak, kita ajak orang mengaji, ikut menghadiri ta’lim dsb dsb kesemuanya itu merupakan kontribusi kita dalam dakwah.
Kecuali berceramah (memberikan tausiah) kita sering kali merasa lebih mudah melaksanakannya. Lain halnya ketika sudah disuruh memberikan tausiah/, seribu satu alasan akan kita ajukan agar kita terhindar dari bentuk kewajiban ini.
Alasan ”sakti” yang biasanya kita pakai untuk menghindar dari kewajiban ini adalah firman Allah:
“Yaa ayyuhaladzina amanuu lima taquluuna ma laa taf’aluuna. Kaburo maktan indallahi antaquluu maalaa taf ‘aluun”
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Alquran Surat As-Shaf:2-3).
Padahal ayat ayat di atas bukan bermakna larangan bagi dakwah, tapi larangan jangan sampai orang berilmu memanipulasi ummat dengan kepintaran kata katanya, orang lain disuruh suruh, sedang dianya sendiri tidak mengerjakan, ia memperalat orang lain dengan ilmu [kita bisa menangkap adanya i’tikad tidak baik dalam kasus ini]. Artinya kalau sudah menyuruh orang, harusnya kita pun melaksanakan. Hal ini mau tidak mau akan menjadi pendorong bagi kita, agar menjadi lebih baik lagi, lagi dan lagi!
Tetapi logika tadi jangan dibalik : “Karena tidak bisa melaksanakan, maka kita jangan menyuruh orang”. Tetapi logika ini yang sering terpateri secara otomatis di dalam hati kita (setidaknya ini berlaku pada saya pribadi)
Sesungguhnya menganjurkan kebaikan tetap mendapat nilai, sepanjang tidak didorong dengan niat memanipulasi, menipu, menciptakan kesan palsu seperti yang telah dijelaskan di atas.
Beberapa hadits mendukung pernyataan ini antara lain
“Barangsiapa yang menganjurkan pada satu kebaikan, maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tanpa mengurangi pahala sipelaku tersebut.”
Artinya kalau kita belum bisa mendapat pahala dengan mengerjakannya sendiri, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya lewat cara menganjurkan orang lain untuk lebih dahulu memperbuatnya. Bagi kita yang telah bisa mengerjakannya, mengapa merasa cukup dengan satu pahala saja, tidakkah ingin berlipat ganda dengan cara menganjurkan orang lain melakukan apa yang telah kita kerjakan ??
Di dalam Al Quran, contoh ”kecil” untuk melaksanakan dakwah adalah menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin. Dan ini sudah merupakan modal awal untuk tidak dikatakan sebagai pendusta agama
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama (QS. 107:1)
Itulah orang yang menghardik anak yatim, (QS. 107:2)
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. 107:3)
Ancamannya (! Lagi nih cerita siksa neraka deh) diakhirat nanti akan ada orang yang dirantai dengan rantai neraka sepanjang 70 hasta, diberi minum darah bercampur nanah, juga karena tidak mau menganjurkan orang lain memberi makan orang miskin (QS. 69:31-37)
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.
Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.
Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.
Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini.
Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.
Dengan mudah kita bisa melihat bahwa menganjurkan orang lain memberi makanan jasmani kepada orang miskin saja sudah demikian besar nilainya, walaupun dianya sendiri tidak mampu memberikan makanan tadi. Sedang jika menganjurkan saja sudah tidak mau, kita lihat betapa mengerikan akibatnya.
Apakah sesudah mendapat penjelasan di atas, hati kita menjadi luluh dan berani bersegera untuk menyampaikan kebaikan? Tentu tidak!
Kita (setidaknya saya pribadi) punya alasan
”Saya malu berdakwah, kelakuan saya sendiri masih amburadul. Saya takut terkena murka, Apa artinya bicara baik bila diri sendiri masih berantakan.”
Heheh, kata siapa bahwa bicara baik itu tidak ada artinya ?
Bicara baik itu sudah bagian dari tanda iman
”man kaana yukminu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khoiron au liyasmut” HR. Bukhori
Bila sudah begitu menurut nabi, terus siapa yang berani mengatakan bicara baik tak berarti ?
Hal ini perlu kita camkan agar sikap perfeksionis (prinsip jika tidak sempurna lebih baik tidak) yang menghambat potensi dakwah ummah tidak merebak luas.
Bila diukur / dibandingkan antara tingkat bahayanya orang yang kelakuannya baik tapi bicaranya salah dengan orang yang kelakuannya buruk tapi pembicaraannya baik, maka daya rusaknya terhadap ummat, yang lebih berbahaya adalah mereka yang manis tingkah lakunya, mempesona akhlaqnya, tapi dari mulutnya keluar fatwa yang salah. Orang percaya dan mengikuti sebab tertarik dengan pribadinya, namun hasilnya Islam dirugikan
Adapun orang yang kelakuannya buruk, sedang perkataannya baik, resiko bagi masyarakat paling paling cuma sekedar “tidak ada yang mau percaya”.
Jadi, apa kita sudah ”menyerah” dan siap bersegera berdakwah.
Belummmmmmm.....
Masih ada jurus berkelit nya
”Mengapa saya harus berdakwah, tidakkah cukup dengan tanggung jawab saya atas diri saya sendiri? Sekarang saya sudah berubah, tidak lagi seperti dulu. Ini saja memerlukan disiplin diri yang kuat, penjagaan yang ketat, kalau saya berdakwah apa malah tidak jadi terpecah konsentrasi ? Saya harus jaga diri, ditambah lagi dengan menjagai prilaku orang lain .....”
Mungkin sebelum ini, kita sempat berkecimpung dalam kelalaian dan kekeliruan, tidakkah kita khawatir kalau kalau ada diantara manusia yang sekarang berbuat ma’shiyyat justru karena terilhami oleh prilaku kita yang dulu dulu ketika masih bersama mereka ?
Tidak mustahil ada yang berani berbuat dosa justru karena kita pernah memperbuatnya. Bila ini terjadi, berarti ada atsar buruk -bekas langkah kita- yang masih tercecer dan terus mengalir.
Ada amal jariyah [amal yang mengalir] yang bila tidak segera dihentikan akan terus menerus menambah berat timbangan keburukan kita, sebab walaupun kita telah berhenti berbuat, tetapi atsar ini tetap ditulis juga sebagai bagian dari yang harus kita pertanggung jawabkan.
Perhatikan Surah Yaasiin [36] : 12 “...dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas bekas yang mereka tinggalkan ...”
Khalifah ‘Umar ra nampaknya menyadari penuh akan bahayanya atsar (bekas) buruk ini, dari itu tercatat dalam sejarah, setelah beliau masuk Islam, maka di tempat tempat mana dulu ia pernah berbuat dosa, beliau kunjungi kembali seraya mengumumkan keislamannya dan mengajak orang kepada Islam.
Ini merupakan salah satu contoh kegigihan menghapus bekas tadi.
Dengan demikian, berdakwah sebenarnya bukan “mengurusi orang lain”, tapi membenahi diri sendiri, jangan sampai ada bekas kejelekan diri yang belum disumbat hingga jadi amal jariyah negatif seperti diulas di atas.
Dakwah pun merupakan usaha kita membebaskan diri dari terlibat dalam ma’shiyyat yang terjadi di depan mata kita. Dinyatakan dalam sebuah hadits shohih bahwa di akhirat nanti akan ada orang yang menarik tangan kita dan berkata : “Ya Allah inilah yang telah mencelakakan saya” Kita mengelak dan berkata : “Bagaimana mungkin saya mencelakakannya padahal saya tidak mengenal dia” Ia akan bilang “Benar Ya Allah, dia tidak kenal akrab dengan saya, tapi dia pernah melihat saya berbuat dosa, dan tidak menegur kesalahan saya itu, andai ia mengingatkan tentu saya tidak akan berketerusan dalam ma’shiyyat”.
Kita tidak akan bisa mungkir lagi sebab filem ketika peristiwa itu terjadi bisa ditayang ulang, sehingga akhirnya kita akan terpojok ketika ditanya : “Mengapa kamu melihat dia berdosa engkau biarkan ...?”
Menghayati surat Al A’raf 164 - 165
Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata:"Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab dengan azab yang amat keras". Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa". (QS. 7:164)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. 7:165)
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa nasib diri kita begitu terancam di akhirat, sudah harus mempertanggung jawabkan kekeliruan sendiri [sebagai manusia, kecil atau besar kita tak pernah luput dari kesalahan] ditambah lagi dengan “ditarik tarik tangan orang” , yang kebetulan di dunia pernah berbuat salah di depan kita dan kita tak berani mendakwahinya ......
Kita punya hutang dakwah kepada semua wajah yang pernah kita lihat, yang ketika dirinya tampak di depan kita, kita tahu ia tengah melakukan kekeliruan. Kita tidak bisa menutup mata yang sebelah lagi untuk urusan ini. Sebab bila selama ini kita ‘menutup sebelah mata’ dengan kema’shiyyatan yang melanda, maka bila kita tutup sebelah lagi (dengan tidak mau belajar dakwah, walaupun hanya lewat obrolan) maka kita sendiri akan menjadi buta !
Dakwah bukanlah menjagai orang lain, tapi memelihara diri sendiri. Ini perlu dicamkan, sebab selama ini banyak orang yang menyamakan arti dakwah dengan “usilan atau memaksa orang seperti maunya kita”.
Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat dengan melakukan amal dakwah yaitu
Kita terlepas dari tuntutan karena tidak mengingatkan orang [S.7:164 - 165] addapun soal takwa dan tidaknya yang didakwahi itu urusan kedua (ma’dzirotan ilaa robbikum, itu yang pertama, baru wa la’allahum yattaquun).
Dimasukkan dalam golongan Ulul Baqiyyah yang dijanjikan beroleh keselamatan, sedang acuh tak acuh dengan dakwah, mementingkan diri sendiri, terancam dapat gelaran dzalim, yaitu mereka yang hidup hanya mementingkan kemewahan dan kesenangan hidup duniawi [lihat S.11:116]
Ikut serta mencegah terjadinya fitnah (kemelut, rusaknya agama, tersebarnya bencana) yang bila itu terjadi, tidak hanya orang dzalim saja yang terkena, termasuk pula orang yang baik baik yang tadinya acuh tak acuh dengan dakwah ! Lihat S.8:25
Dakwah tidak memecahkan konsentrasi kita dalam berdisiplin melaksanakan tha’at justru menambah maraknya suasana jiwa kita dalam berislam. Mengapa ? sebab bukan hanya dilaksanakan tapi kita pun terus menerus membicarakannya. Minimal bila suatu sa’at datang malasnya, kita pun akan tertagih dengan kata kata sendiri. Bukankah ini menguntungkan ?
Daripada sudah diri tidak mengerjakan, kita pun tak pernah pula membicarakan. Apa tidak malah keterusan lupanya ? Bukankah malu dan iman itu dua bagian yang tak terpisahkan [ Al Hadits], bila satu hilang yang satunya pun terancam segera sirna.
Banyak membicarakan kebaikan, membuat kita semakin terikat dengan tuntutan untuk konsekwen, ada rasa malu bila diri sendiri tidak melaksanakan. Dari sudut ini, malu oleh kata kata sendiri adalah pelindung iman terakhir agar tidak cepat menguap.
Antara dakwah dan amal sholeh adalah dua kewajiban yang menjadi hutang kita.. Bagi yang sudah baik amalnya malah tidak ada alasan lagi untuk tidak berdakwah. Sedang bagi yang amalnya masih tercampur [antara baik dan buruk] semoga dengan diawali oleh baiknya perkataan, kelakuannya pun menjadi baik pula bersama sama dengan orang yang diajaknya, Aamiin.
Jadi?
Mesti mengumpulkan keberanian untuk segera berdakwah nih!

(by:http://bemmawi-mks.blogspot.com/2008/08/haruskah-saya-berdakwah-renungan-diri.html)

Tidak Semua Yang Engkau Tahu Harus Diucapkan

Laisa kullu la yu’lamu yuqalu. Tidak semua yang diketahui itu harus terucapkan.Sebab Likulli Maqaamiin maqaalun. Setiap kondisi dan keadaan itu mempunyai perkataan yang tepat. (Atau jika anda mau anda juga bisa mengatakan bahwa setiap perkataan itu memiliki saat dan kondisi yang tepat untuk diucapkan).



Ini adalah sebuah nasehat penting bagi siapa yang diberi karunia ilmu dari Allah. Sebab nampaknya memang sulit untuk dipungkiri bahwa mengetahui saja tidaklah cukup. Karena agar pengetahuan itu jatuh di tempat yang tepat, kita membutuhkan pemahaman. Yang terakhir inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah Fiqh.

Ya, banyak yang tidak mengetahui Dienullah, hanya sedikit saja yang mengetahuinya, dan dari sedikit yang mengetahui itu, semakin sedikit pula yang diberikan pemahaman. Maka untuk orang yang sangat khusus ini, sang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Mengatakan: “Man Yuridullahu bihi khairan yufaqqihhu fiddiin.” Barang siapa yang dikehandaki oleh Allah mendapatkan puncak segala kebahagiaan, Maka Allah akan memahamkannya (membuatnya Faqih) terhadap diennya.

Anda mungkin pernah mendengar nama seorang tabiin besar bernama Waki’ bin Al Jarrah. Kalau anda belum pernah mendengar namanya, tentu Anda sudah sering mendengar nama Imam Asy-syafi’i. Nah, Imam Asy-syafi’i ini adalah murid dari Waki’ bin Al Jarrah itu. Ketika Asy-Syafii mengalami kesulitan menghafal, para sang guru inilah ia mengadu. Nasehat sang Guru kemudian ia abadikan dalam syair yang sangat terkenal :”Kumengadukan pada Waki’ akan hafalanku yang buruk lalu ia menasehatiku agar meninggalkan maksiat karena ilmu itu adalah cahaya Allah. Dan Cahaya itu tak dikaruniakan kepada pelaku Maksiat”. Waki’ bin Al Jarrah ini pernah mengalami kejadian yang sangat menakutkan akibat tergelincir dalam masalah yang di bahas dalan tulisan ini. Tetapi begitulah, setiap Alim di bumi ini akan mempunyai Zallah, ketergelinciran dan ketersalahan. Tidak ada yang maksum kecuali Rasulluah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Entah bagaimana kisahnya, Waki’ pernah mendengarkan sebuah riwayat tentang kisah kematian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kisah itu diriwayatkan dari seorang yang bernama Isma’il Ibn Abi Khalid. Lalu Isma’il ini meriwayatkannya dari Abdullah Al-Bakhi. Nah Abdullah Al Bakhi inilah yang kemudian mengatakan bahwa “Sahabat Abubakar As-shiddiq Radhiallahu ‘Anhu mendatangi Jenazah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian beliau bersimpuh dan menciumnya seraya mengatakan : “Duhai, alangkah indahnya hidup dan kematianmu, Wahai Rasulullah. “ Setelah itu -masih berdasarkan penuturan Abdullah Al-Bahiyy- jenazah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disemayamkan selama satu hari satu malam,hingga perut beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Agak membengkak demikian pula jari beliau.“ Demikianlah riwayat Abdullah Al-Bahiyy yang diterima oleh Waki’ bin Al-Jarrah.

Suatu ketika dalam sebuah dalam sebuah majelis di Mekkah, dia menyampaikan riwayat ini; sebuah riwayat yang sesungguhnya adalah riwayat yang mungkar dan munqathi’ (terputus). Mekkah pun heboh. Apalagi kalangan orang Qurays. Mereka berkumpul dan bersepakat untuk menyalib Waki’ yang dianggap telah melecehkan Rasullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan meriwayatkan kisah tersebut. Padahal niat Waki’ sesungguhnya sangat baik. Ketika ia ditanya mengapa ia menyampaikan riwayat itu ia mengatakan,”beberapa orang sahabat, diantaranya Umar bin Khatab Radhiallahu ‘Anhu tidak mempercayai bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mengalami kematian. Maka berdasarkan riwayat tersebut Allah kemudian menunjukkan kepada mereka beberapa tanda kematian (yaitu anggota tubuh yang berubah yang menjadi agak bengkak)”

Sebuah alasan yang sangat masuk akal Namun orang-orang Qurays sudah terlanjur marah. Mereka telah menyiapkan kayu untuk menyalib Waki’ bin Al-jarrah. Namun untunglah pertolongan Allah segera menghampirinya. Disaat yang genting itu, muncullah Sufyan bin Uyainah. Ia segera saja berteriak, “Demi Allah! Demi Allah! Jangan kalian lakukan itu! Ini adalah Faqihnya negeri Irak ,ayahnya juga seorang Alim besar disana.”

Sedangkan riwayat yang ia sampaikan itu adalah riwayat yang masyhur.” (Dan Sufyan tidak berdusta ketika mengatakan bahwa riwayat itumerupakan riwayat yang Masyhur, sebab sebuah riwayat yang masyhur belum tentu shahih). Padahal seperti kata Sufyan : “Aku belum pernah mendengarkan riwayat itu sebelumnya, Aku hanya ingin menyelamatkan Waki. “

Demikianlah akhir kisah Waki’ bin Al -Jarrah, guru Imam Asy-syafi’i. Seperti kata seorang ahli sejarah besar Adz-Dzahaby. “Kisahnya sungguh aneh. Ia sesungguhnya bermaksud baik. Namun sangat disayangkan saat itu kenapa ia tidak memilih diam dan tidak menyampaikan riwayat itu. Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah mengatakan : “Cukuplah menjadi dosa seseorang bila ia membicarakan setiap apa yang ia pernah dengarkan’....Hampir saja nyawanya melayang.....”

Maka seperti kata-kata hikmah kita pun mengatakan, “.......walaisa kullu maa yuqaalu, yuqaalu fiqulli maqaam.....” -Bila tidak semua yang diketahui itu pantas terucapkan- maka tidak semua yang pantas terucapkan itupun tidak serta merta dapat diucapkan disetiap tempat, waktu, dan orang. Sebuah pesan penting untuk para pemilik ilmu untuk bersikap bijak.
(Sumber : Perindu-Perindu Malam, Abul Miqdad Al-Madani, Mujahid Press)

* Memilih Sekolah Buat Calon Mujahid

Allah Ta'ala Berfirman, yang artinya :
”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang bakal meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir atas kelangsungan hidup mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka menyampaikan perkataan yang benar” (Q.S. 4:9).

Dari ayat diatas kita dapat sebuah gambaran bagaimana mempersiapkan ilmu pengetahuan atau pendidikan kepada anak-anak kita (generasi berikutnya) agar lebih baik dan lebih maju dari pendidikan kita saat ini, karena jaman yang akan mereka hadapi tentu berbeda dengan jaman kita ini.

Namun yang perlu di tekankan disini adalah bagaiman pendidikan yang mencakup intelektualitas itu (tawajun) seimbang dengan sepiritualitas sehinga melahirkan generasi-generasi yang benar-benar mampu menghadapi tantangan jaman yang akan datang.
Dalam hal ini seorang anak jangan dipaksakan hanya untuk meningkatkan kecerdasan dalam hal akademik saja tetapi harus di dukung dengan nilai-nilai keagamaan, sehingga kecerdasan yang ia peroleh tidak akan disalahgunakan sehingga ia mampu menjadi manusia yang pintar dan cerdas dan juga benar. Benar disini sesuai dalam konteks Al-Quran dan Hadist Rasululah tentunya, bukan benar berdasarkan hawanafsu dan kepentingan diri, golongan atau yang lainnya. Selamat mencarikan pendidikan yang benar-benar menciptakan manusia yang Cerdas dan ber-imtaq.
Jawabannya ? Klik di sini…!
Marja : http://seuntaikenanganquran.blogspot.com/

* Tafsir Al-Fatihah As-Sa’di

Surat Al-Fatihah adalah surat yang paling sering kita baca. Dalam satu hari, seorang muslim minimal membacanya sebanyak 17 kali dalam setiap rakaat shalatnya. Untuk lebih menghayati bacaan kita terhadap surat ini di dalam shalat, marilah kita baca bersama tafsir surat ini.
Berikut ini adalah tafsir surat Al-Fatihah ringkas yang kami terjemahkan dari Taisir Karimir Rahman karya As-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.
Beliau berkata di dalam tafsir beliau,
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (1) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (3) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (4) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (7)
بِسْمِ اللهِ
“Dengan nama Allah”
Allah: Memulai dengan seluruh nama Allah ta’ala. Karena lafazh اسم (nama) adalah mufrad mudhaf (kata tunggal yang disandarkan pada sesuatu -pent.), maka ini dibawa kepada keumuman keseluruhan asmaul husna.
Allah berarti Yang Disembah, Yang Diibadahi. Yang berhak untuk ditunggalkan dalam peribadahan, ini karena Allah disifatkan dengan sifat yang termasuk sifat uluhiyah. Sifat ini adalah sifat kesempurnaan.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala memiliki rahmat yang luas dan agung, yang meluas kepada segala sesuatu, meliputi seluruh makhluk hidup. Allah juga menentukan rahmat bagi orang-orang yang bertaqwa, yang mengikuti para nabi dan rasul-Nya. Maka, bagi mereka inilah rahmat yang mutlak. Dan barangsiapa yan berpaling, maka dia tetap mendapatkan bagian rahmat tersebut.
Ketahuilah, sesungguhnya termasuk ke dalam kaidah yang telah disepakati oleh salaful ummah serta para imam adalah beriman kepada nama dan sifat Allah, serta hukum-hukum sifat tersebut.
Sebagai contoh, mereka beriman bahwa Allah itu Rahman dan Rahim. Allah memiliki rahmat, yang dengan sifat rahmat itulah Allah disifati. Sifat ini dikaitkan dengan makhluk yang dirahmati. Maka segala macam kenikmatan merupakan atsar (tanda) dari rahmat Allah. Begitupula dalam setiap nama-nama Allah.
Disebutkan pada sifat Al-Aliim: Allah itu Maha Mengetahui dan memiliki ilmu. Dengan ilmu tersebut Allah mengetahui segala sesuatu. Begitu juga dengan Qadiir: Allah itu memiliki pengaturan, mengatur segala sesuatu.
الْحَمْدُ لِلَّهِ
“Segala puji hanya bagi Allah”
Ini merupakan pujian kepada Allah dengan sifat kesempurnaan. Dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang mencakup di antara keutamaan dan keadilan. Maka bagi-Nyalah pujian yang sempurna dari segala sisi.
رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Rabb semesta alam”
Ar-Rabb adalah yang mengatur semesta alam ini. Alam adalah yang selain Allah ta’ala. Pengaturan Allah dengan menciptakan alam, menyiapkan kebutuhannya, dan memberikan kepada mereka nikmat yang agung yang apabila mereka cari mereka tidak akan dapat memperolehnya dengan kekekalan. Nikmat yang ada pada mereka adalah nikmat dari Allah.
Tarbiyah Allah terhadap ciptaan-Nya ada dua jenis: umum dan khusus.
Adapun yang umum adalah menciptakan para makhluk, memberi rizki kepada mereka, dan menunjuki mereka apa-apa yang memberikan mashlahat bagi mereka, ini merupakan ketetapan bagi mereka di dunia.
Adapun yang khusus adalah tarbiyah Allah bagi para wali-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan iman, memberikan taufiq kepada mereka dengan iman tersebut, menyempurnakan mereka dan mencegah mereka dari berpaling (dari keimanan tersebut –pent). Dan Allah juga mencegah hambatan-hambatan yang memalingkan mereka dari Allah.
Dan hakikatnya adalah tarbiyah taufiq dalam semua kebaikan dan terjaga dari segala macam keburukan. Makna ini merupakan inti keadaan kebanyakan doa para nabi dengan lafzh Rabb, karena seluruh permintaan mereka masuk di bawah rububiyah yang khusus.
Maka firman Allah “Rabbil ‘Aalamiin” menunjukkan keesaan Allah dalam penciptaan, pengaturan nikmat, kesempurnaan kekayaan Allah, serta benar-benar butuhnya yang selain Allah kepada-Nya dari segala sisi.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang Menguasai Hari Pembalasan”
Al-Maalik adalah yang disifati dengan sifat penguasaan yang ditandai dengan dia memerintah dan melarang, memberikan pahala dan hukuman, mengatur apa yang dia kuasai dengan segala bentuk pengaturan. Dan menggolongkan apa yang dia kuasai pada hari pembalasan.
Hari pembalasan adalah hari kiamat. Hari di mana manusia dibalas atas amalan-amalan mereka, yang baik maupun yang buruk. Karena pada hari tersebut, kesempurnaan kerajaan Allah serta keadilan-Nya akan benar nampak sempurna bagi para makhluk. Begitu juga akan nampak keterputusan kekuasaan para makhluk. Sehingga pada hari itu akan sama kedudukannya para raja dan rakyat jelata, seorang budak dan seorang yang merdeka. Semua mereka tunduk karena keagungan Allah, merendah karena kebesaran Allah, mereka menunggu balasan dari Allah, mengharap pahala-Nya, takut akan hukuman-Nya. Oleh karena itulah Allah mengkhususkan penyebutan hal ini (yaitu bahwa Dia penguasa hari pembalasan –pent). Allah-lah yang menguasai hari pembalasan serta hari-hari selainnya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
Artinya, “Kami mengkhususkan Engkau semata dalam peribadahan dan isti’anah (permintaan tolong)”. Karena didahulukannya al-ma’mul (obyek, dalam hal ini adalah kata Engkau (Allah) –pent.) memberikan faedah pembatasan. Yaitu menetapkan hukum bagi yang disebutkan, dan menafikan hukum dari yang selainnya. Ini seolah-olah anda berkata “Kami menyembah kepada-Mu, dan kami tidak menyembah yang selain Engkau. Kami tidak pula meminta pertolongan dari yang selain Engkau”.
Di sini, ibadah didahulukan daripada isti’anah. Maksudnya adalah mendahulukan perkara yang umum baru kemudian yang khusus serta perhatian dengan mendahulukan hak Allah ta’ala daripada hak hamba-Nya.
“Ibadah” adalah sebuah nama yang mengumpulkan perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa amalan maupun ucapan yang zhahir maupun yang batin. “Isti’anah” adalah menyandarkan diri kepada Allah untuk memperoleh manfaat dan menolak mudharat, disertai dengan tsiqah (keyakinan) bahwa Allah-lah yang mewujudkan hal tersebut.
Menegakkan ibadah dan isti’anah kepada Allah merupakan perantara untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi dan selamat dari segala bentuk kejelekan. Tidak ada jalan keberhasilan melainkan dengan menegakkan keduanya. Hanya saja, ibadah itu disebut ibadah jika diambil dari (contohan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dimaksudkan untuk wajah Allah. Dengan dua perkara ini maka dia disebut ibadah.
Penyebutan Isti’anah setelah ibadah -padahal isti’anah itu juga termasuk ke dalam ibadah- adalah karena butuhnya hamba kepada istia’anah kepada Allah dalam setiap peribadahan. Sebab, tanpa pertolongan Allah, dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah tadi
Selanjutnya Allah berfirman,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Maksudnya, “Tunjukkan dan selaraskan kami dengan jalan yang lurus”. Jalan yang lurus adalah jalan yang jelas dan menyampaikan kepada Allah serta surga-Nya. Jalan yang lurus juga maksudnya mengenal kebenaran dan melaksanakannya. Maka tunjukilah kami kami ke jalan tersebut dan berilah kami petunjuk di jalan tersebut.
Petunjuk kepada jalan yang lurus ini adalah tetap di dalam agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun pentunjuk di jalan tersebut mencakup petunjuk untuk mengetahui dan mengamalkan bagian-bagian dari agama.
Doa (”Tunjukkan kami ke jalan yang lurus”, pent.) ini termasuk doa-doa yang mengumpulkan dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk berdoa kepada Allah dengan doa ini pada setiap rakaat shalatnya karena butuhnya dia terhadap hal tersebut.
Jalan yang lurus ini adalah
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat”
Yaitu dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih.
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
“Bukan jalan orang –orang yang Engkau murkai”
Yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran namun mereka meninggalkannya, seperti Yahudi dan yang seperti mereka.
وَلاَ الضَّالِّينَ
“Dan bukanlah jalan orang-orang yang sesat”
Yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan, seperti Nashara dan yang seperti mereka.
KANDUNGAN SURAT AL-FATIHAH
Surat Al-Fatihah ini -dilihat dari cakupannya-, telah diturunkan dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh surat-surat Al-Qur’an lainnya. Surat Al-Fatihah mengandung tauhid yang tiga:
- Tauhid Rububiyah yang diambil dari firman-Nya:
رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Rabb semesta alam”
- Dan tauhid ilahiyah, yaitu mengesakan Allah dengan peribadahan. Diambil dari lafzh (الله) dan dari firman-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
- Serta tauhid asma wa shifat yaitu menetapkan sifat yang sempurna bagi Allah, yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dan yang telah Rasulullah tetapkan pula tanpa ta’thil (penolakan), tamtsil (memisalkan), dan tanpa tasybih (penyerupaan). Hal ini telah ditunjukkan oleh lafzh (الحمد) sebagai yang telah berlalu.
Al-Fatihah juga mengandung penetapan nubuwah (kenabian) dalam firman-Nya,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Karena jalan yang lurus tidak bisa diperoleh tanpa adanya risalah (kenabian).
Surat ini juga menetapkan adanya balasan bagi amalan-amalan dalam firman-Nya:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang Menguasai Hari Pembalasan”
Dan balasan tersebut akan disertai dengan keadilan. Karena kata diin itu bermakna balasan dengan keadilan.
Surat ini juga mengandung penetapan taqdir, dan menetapkan bahwa sesungguhnya hamba itu adalah pelaku amalan yang hakiki. Berbeda dengan aliran Qadariyah dan Jahmiyah.
- Surat ini merupakan bantahan terhadap seluruh ahli bid’ah dan kesesatan dalam firman-Nya,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Karena jalan yang lurus adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Dan setiap pelaku bid’ah dan kesesatan menyelisihi perkara ini.
- Surat ini juga mengandung pengikhlasan agama hanya bagi Allah ta’ala dengan beribadah dan memohon pertolongan dalam firman-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
- فالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ -
*Marja : www.wiramandiri.wordpress.com

Posted by BEM STIBA

Selasa, 21 April 2009

* Nasihat Bagi Pemuda Muslim & Penuntut ‘Ilmu

di kutip dari http://bemmawi-mks.blogspot.com/2009/02/nasihat-bagi-pemuda-muslim-penuntut.html

* Nasihat Bagi Pemuda Muslim & Penuntut ‘Ilmu
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah

Pertama-tama aku menasihatimu dan diriku agar bertakwa kepada Allah Jalla Jalaluhu, kemudian apa saja yang menjadi bagian/cabang dari ketakwaan kepada Allah Tabaarakan wa Ta'ala seperti :

[1] Hendaklah kamu menuntut ilmu semata-mata hanya karena ikhlas kepada Allah Jalla Jalaluhu, dengan tidak menginginkan dibalik itu balasan dan ucapan terima kasih. Tidak pula menginginkan agar menjadi pemimpin di majelis-majelis ilmu. Tujuan menuntut ilmu hanyalah untuk mencapai derajat yang Allah Jalla Jalaluhu telah khususkan bagi para ulama. Dalam firmanNya.

"Artinya : ... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...?" [Al-Mujaadilah : 11]

[2] Menjauhi perkara-perkara yang dapat menggelincirkanmu, yang sebagian " Thalibul Ilmi" (para penuntut ilmu) telah terperosok dan terjatuh padanya. Diantara perkara-perkara itu :

[a] Mereka amat cepat terkuasai oleh sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan terpedaya, sehingga ingin menaiki kepala mereka sendiri.
[b] Mengeluarkan fatwa untuk dirinya dan untuk orang lain sesuai dengan apa yang tampak menurut pandangannya, tanpa meminta bantuan (dari pendapat-pendapat) para ulama Salaf pendahulu ummat ini, yang telah meninggalkan "harta warisan" berupa ilmu yang menerangi dan menyinari dunia keilmuan Islam. (Dengan warisan) itu jika dijadikan sebagai alat bantu dalam upaya penyelesaian berbagai musibah/bencana yang bertumpuk sepanjang perjalanan zaman. Sebagai mana kita telah ikut menjalani/merasakannya, dimana sepanjang zaman itu dalam kondisi yang sangat gelap gulita.

Meminta bantuan dalam berpendapat dengan berpedoman pada perkataan dan pendapat Salaf, akan sangat membantu kita untuk menghilangkan berbagai kegelapan dan mengembalikan kita kepada sumber Islam yang murni, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahihah.

Sesuatu yang tidak tertutup bagi kalian bahwasannya aku hidup di suatu zaman yang mana kualami padanya dua perkara yang kontradiksi dan bertolak belakang, yaitu pada zaman dimana kaum muslimin, baik para syaikh maupun para penuntut ilmu, kaum awam ataupun yang memiliki ilmu, hidup dalam jurang taqlid, bukan saja pada madzhab, bahkan lebih dari itu bertaqlid pada nenek moyang mereka.

Sedangkan kami dalam upaya menghentikan sikap tersebut, mengajak manusia kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Demikian juga yang terjadi di berbagai negeri Islam. Ada beberapa orang tertentu yang mengupayakan seperti apa yang kami upayakan, sehingga kamipun hidup bagaikan "Ghuraba" (orang-orang asing) yang telah digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa hadits beliau yang telah dimaklumi, seperti :

"Artinya : Sesungguhnya awal mula Islam itu sebagai suatu yang asing/aneh, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing"

Dalam sebagian riwayat, Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Mereka (al-Ghurabaa) adalah orang-orang shaleh yang jumlahnya sedikit sekeliling orang banyak, yang mendurhakai mereka lebih banyak dari yang mentaati mereka" [Hadits Riwayat Ahmad]

Dalam riwayat yang lain beliau bersabda :
"Artinya : Mereka orang-orang yang memperbaiki apa yang telah di rusak oleh manusia dari Sunnah-Sunnahku sepeninggalku".

Aku katakan : "Kami telah alami zaman itu, lalu kami mulai membangun sebuah pengaruh yang baik bagi dakwah yang di lakukan oleh mereka para ghuraba, dengan tujuan mengadakan perbaikan ditengah barisan para pemuda mukmin. Sehingga kami jumpai bahwa para pemuda beristiqomah dalam kesungguhan di berbagai negeri muslim, giat dalam berpegang teguh pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengetahui keshahihannya".

Akan tetapi kegembiraan kami terhadap kebangkitan yang kami rasakan pada tahun-tahun terakhir tidak berlangsung lama. Kita telah dikejutkan dengan terjadinya sikap "berbalik", dan perubahan yang dahsyat pada diri pemuda-pemuda itu, di sebagian negeri[1]. Sikap tersebut, hampir saja memusnahkan pengaruh dan buah yang baik sebagai hasil kebangkitan ini, apa penyebabnya ? Di sinilah letak sebuah pelajaran penting, penyebabnya adalah karena mereka tertimpa oleh perasaan ujub (membanggakan diri) dan terperdaya oleh kejelasan bahwa mereka berada di atas ilmu yang shahih. Perasaan tersebut bukan saja diseputar para pemuda muslim yang terlantar, bahkan terhadap para ulama. Perasaan itu muncul tatkala merasa bahwa mereka memilki keunggulan dengan lahirnya kebangkitan ini, atas para ulama, ahli ilmu dan para syaikh yang bertebaran diberbagai belahan dunia Islam.

Sebagaimana merekapun tidak mensyukuri nikmat Allah Jalla Jalaluhu yang telah memberikan Taufik dan Petunjuk kepada mereka untuk mengenal ilmu yang benar beserta adab-adabnya. Mereka tertipu oleh diri mereka sendiri dan mengira sesungguhnya mereka telah berada pada status kedudukan dan posisi tertentu.

Merekapun mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak matang alias mentah, tidak berdiri diatas sebuah pemahaman yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Maka tampaklah fatwa-fatwa itu dari pendapat-pendapat yang tidak matang, lalu mereka mengira bahwasanya itulah ilmu yang terambil dari al-Qur'an dan as-Sunnah, maka mereka pun tersesat dengan pendapat-pendapat itu, dan juga menyesatkan banyak orang.

Suatu hal yang tidak sama bagi kalian, akibat dari itu semuanya muncullah sekelompok orang ("suatu jama'ah") dibeberapa negeri Islam yang secara lantang mengkafirkan setiap jama'ah-jama'ah muslimin dengan filsafat-filsafat yang tidak dapat diungkapkan secara mendalam pada kesempatan yang secepat ini, apalagi tujuan kami pada kesempatan ini hanya untuk menasehati dan mengingatkan para penuntut ilmu dan para du'at (da'i).

Oleh sebab itu saya menasehati saudara-saudara kami ahli sunnah dan ahli hadits yang berada di setiap negeri muslim, agar bersabar dalam menuntut ilmu, hendaklah tidak terperdaya oleh apa yang telah mereka capai berupa ilmu yang dimilikinya. Pada hakekatnya mereka hanyalah mengikuti jalan, dan tidak hanya bersandar pada pemahaman-pemahaman murni mereka atau apa yang mereka sebut dengan "ijtihad mereka".

Saya banyak mendengar pula dari saudara-saudara kami, mereka mengucapkan kalimat itu, dengan sangat mudah dan gampang tanpa memikirkan akibatnya : "Saya berijtihad". Atau "Saya berpendapat begini" atau "Saya tidak berpendapat begitu", dan ketika anda bertanya kepada mereka ; Kamu berijtihad berdasarkan pada apa, sehingga pendapatmu begini dan begitu ? Apakah kamu bersandar pada pemahaman al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta ijma' (kesepakatan) para ulama dari kalangan Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya ? Ataukah pendapatmu ini hanya hawa nafsu dan pemahaman yang pendek dalam menganalisa dan beristidlal (pengambilan dalil)?. Inilah realitanya, berpendapat berdasarkan hawa nafsu, pemahaman yang kerdil dalam menganalisa dan beristidlal. Ini semuanya dalam keyakinanku disebabkan karena perasaan ujub, kagum pada diri sendiri dan terperdaya.

Oleh sebab itu saya jumpai di dunia Islam sebuah fenomena (gejala) yang sangat aneh, tampak pada sebagian karya-karya tulis.

Fenomena tersebut tampak dimana seorang yang tadinya sebagai musuh hadits, menjadi seorang penulis dalam ilmu hadits supaya dikatakan bahwa dia memiliki karya dalam ilmu hadits. Padahal jika anda kembali melihat tulisannya dalam ilmu yang mulia ini, anda akan jumpai sekedar kumpulan nukilan-nukilan dari sini dan dari sana, lalu jadilah sebuah karya tersebut. Nah apakah faktor pendorongnya (dalam melakukan hal ini) wahai anak muda ? Faktor pendorongnya adalah karena ingin tampak dan muncul di permukaan. Maka benarlah orang yang berkata.

"Perasaan cinta/senang untuk tampil akan mematahkan punggung (akan berkaibat buruk)"

Sekali lagi saya menasehati saudara-saudaraku para penuntut ilmu, agar menjauhi segala perangai yang tidak Islami, seperti perasaan terperdaya oleh apa yang telah diberikan kepada mereka berupa ilmu, dan janganlah terkalahkan oleh perasaan ujub terhadap diri sendiri.

Sebagai penutup nasehat ini hendaklah mereka menasehati manusia dengan cara yang terbaik, menghindar dari penggunaan cara-cara kaku dan keras di dalam berdakwah, karena kami berkeyakinan bahwasanya Allah Jalla Jalaluhu ketika berfirman.

"Artinya : Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik ..." [An-Nahl : 125]

Bahwa sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu tidaklah mengatakannya kecuali dengan kebenaran (al-haq) itu, terasa berat oleh jiwa manusia, oleh sebab itu ia cenderung menyombongkan diri untuk menerimannya, kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allah. Maka dari itu, jika di padukan antara beratnya kebenaran pada jiwa manusia plus cara dakwah yang keras lagi kaku, ini berarti menjadikan manusia semakin jauh dari panggilan dakwah, sedangkan kalian telah mengetahui sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Bahwasanya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan (manusia dari agama) ; beliau mengucapkan tiga kali".

[Nasehat ini dinukil dari kitab "Hayat al-Albani" halaman : 452-455]


[Disalin dari Majalah : as-Salafiyah, edisi ke 5/Th 1420-1421. hal 41-48, dengan judul asli "Hukmu Fiqhil Waqi' wa Ahammiyyatuhu". Ashalah, diterjemahkan oleh Mubarak BM Bamuallim LC dalam Buku "Biografi Syaikh Al-Albani Mujaddid dan Ahli Hadits Abad ini" hal. 127-150 Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i.]
_________
Foote Note.
[1] Penyusun katakan : "Sebagaimana yang terjadi di negeri ini, munculnya beberapa gelintir manusia dengan berpakaian "Salafiyah", memberikan kesan seolah-olah mereka mengajak kepada pemahaman Salaf, namum hakekatnya mereka adalah pengekor hawa nafsu dan perusak dakwah Salafiyah, akibatnya mereka hancur berkeping-keping, dan saling memakan daging temannya sendiri. Wal 'iyadzu billahi, kami mohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari nasib yang serupa.

Senin, 20 April 2009

Ilmu Hadis

Di kutip dari http://onlinecasino21.blogspot.com/
I. Pengertian Hadits

Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmah nya

Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.

Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
“Dikala Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan Abu Dawud)

tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.

Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.

Atsar adalah segala sesuatu yang lebih umum dari hadits dan khabar, yaitu termasuk perkataan tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para ulama salaf.

Biasanya perkataan yang disandarkan atau berasal dari selain Nabi disebut atsar.

Sunnah adalah Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh dalam berbuat dan ber’itiqad (berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu disyariatkan, ditempuh dan diridloi oleh Nabi.

Hadits Qudsi adalah hadits yang mengandung kalimat langsung perkataan Allah, cirinya dimulai dengan “Allah berkata…”

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an :
a. Semua lafad ayat-ayat Al-Qur’an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang Hadits Qudsi tidak.
b. Perlakuan terhadap Al-Qur’an -dilarang menyentuhnya bagi yang berhadas kecil, dilarang membacanya bagi yang ber hadas besar- tidak berlaku bagi Hadits Qudsi.
c. Membaca Al-Qur’an setiap hurufnya mendatangkan pahala, sedang membaca Hadits Qudsi tidak.
d. Al-Qur’an semua susunan kata-katanya redaksinya berasal dari Allah, sedangkan Hadits Qudsi redaksi kata-katanya terserah Rasulullah.




II. Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam

Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua adalah Hadits.

Sebab-sebab Al-Qur’an lebih tinggi derajadnya dari hadits :
1. Al-Qur’an kita terima dari Nabi dengan jalan Qoth’i (pasti) karena didengar dan dihafal oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para penulis wahyu. Sedangkan hadits tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan tranmisinya berupa dzan (dugaan kuat).
2. Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan mentranmisikan materinya kepada umat dalam keadaan aslinya (redaksinya) sehuruf pun tidak berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dan mushaf itupun terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. Sedangkan materi hadits dapat diriwayatkan dengan maknanya saja.
3. Semua ayat Al-Qur’an Mutawatir. Sedangkan hadits kebanyakan tidak mutawatir.
4. Al-Qur’an merupakan pokok yang memuat prinsip dasar dan hadits adalah penjelas dari yang pokok atau hadits adalah cabang dari yang pokok. Bila hadits yang cabang mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang pokok maka ditolak.
5. Ijma Sahabat, yaitu Khalifah Abu Bakar, Umar bila akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada keputusan hukumnya pada masa Rasulullah maka mereka merujuk ke Al-Qur’an, bila tidak ditemukan di Al-Qur’an maka Khalifah mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk ditanyakan apakah ada yang pernah mendengar Hadits Rosulullah, mengenai masalah tersebut, bila ada yang menyebutkan haditsnya maka Khalifah memutuskan hukum berdasarkan hadits tersebut. Metode tersebut juga dilakukan oleh Usman dan Ali dan tidak ada yang menyelisihi mengenai hal ini.
6. Dalam hadits sendiri menunjukkan bahwa Al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya, yaitu hadits Muadz Bin Jabal ra yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, yang menjelaskan urut urutan sumber hukum islam yaitu : Al-Qur’an, Hadits dan “ajtahidu ro’yii” – ijtihad dengan akal

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus) ulil-amri (pemegang urusan yaitu umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah dalil akal.

Dalil akal ini ada sekitar 40 tools yang dibahas secara terperinci dalam ilmu ushul fikih, yang terkenal adalah :
1. Qiyas (analogi)
2. Ihtisan (keluar dari qiyas umum karena ada sebab yang lebih kuat)
3. Maslahah Mursalah (keluar dari qiyas umum dengan pertimbangan kemaslahatan)
4. Saddudz Dzari’ah (menutup jalan yang menuju kemudhorotan)
5. Ar Raju’u ilal manfa’ati wal madharrati (mempertimbangkan kemanfaatan dan kemudhorotan)
6. Istishab (hukum yang diyakini menetap sebelumnya tidak dapat dirubah oleh yang masih meragukan)
7. Urf (kebiasaan yang berlaku pada suatu kaum dapat menjadi hukum).
dan lain lain sampai sekitar 40 macam.

Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an :
1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.
Untuk memahami dengan baik tentang hal ini diperlukan penguasaan ilmu-ilmu Al-Qur’an (ulumul Qur’an) dan menguasai nahwu-sharaf bahasa Arab serta menguasai kaidah-kaidah yang mengatur kapan suatu hadits dapat mentakhsish atau me nasakh Al-Qur’an. Kemampuan ini harus dimiliki oleh seorang mujtahid.


III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits

A. Periode Pertama (Jaman Rosul)
- Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
- Para sahabat lebih concern dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an
- Secara umum Rasulullah saw melarang menuliskan hadits karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena wahyu sedang / masih diturunkan.
- Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan.
- Sebagian kecil sahabat –yang pandai baca tulis- menuliskan hadits seperti : Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan hadits dan dikenal sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir”
- Pada event tertentu orang arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan permintaannya untuk menuliskan hadits untuknya.
- Para sahabat masih disibukkan dengan peperangan penaklukan kabilah-kabilah di seluruh jazirah Arab.
- Para sahabat yang belum paham tentang suatu hukum bisa saling bertanya kepada yang lebih tahu dan saling mempercayai penuturannya.

B. Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin)
- Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
- Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka.
- Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadits kepadanya.
- Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits
- Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak periwayatan hadits.
- Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar ke Ibukota daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.

C. Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
- Para sahabat besar telah terpencar kelur dari Madinah.
- Jabir pergi ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary.
- Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits.
- Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
a. Abu Hurairah (5347 hadits)
b. Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
c. Anas Bin Malik (2236 hadits)
d. Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
e. Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
f. Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
g. Abu Sa’id Al Kudri (1170 hadits)
h. Ibnu Mas’ud
i. Abdullah Bin Amr Bin Ash

- Pada waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah Bin Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim (arbitrase) muncul kelompok (sekte) kawarij yang memusuhi Ali dan Muawiyah. Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.


D. Periode Ke-empat (Masa Pembukuan Hadits)
- Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
a. Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b. Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
c. Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d. Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.

- Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.

Khalifah Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :

“Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”

- Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam- untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
- Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a. Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
b. Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c. Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
d. Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
e. Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)

E. Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadits)
1. Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
- Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
- Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
- Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan hadits.
- Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhary).
- Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
- Penyusunan kitab Sahih Bukhory
- Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
a. Sahih Bukhory
b. Sahih Muslim
c. Sunan Abu Dawud
d. Sunan An Nasay
e. Sunan At-Turmudzy
f. Sunan Ibnu Majah
2. Periode menghafal dan meng isnadkan hadits (abad ke-IV H)
- Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada kitab-kitab hadits.
- Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada kitab-kitab hadits.
- Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
3. Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
- Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
- Menguraikan dengan luas (men syarah) kitab-kitab hadits.
- Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
- Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
- Menciptakan kamus hadits.
- Mengumpulkan (jami’) hadits-hadits bukhory-Muslim
- Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
- Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
- Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
- Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.

F. Periode ke-enam (dari tahun 656 H – sekarang)
- Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H – sekarang ini.
- Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
- Membuat kitab-kitab jami’
- Menyusun kitab-kitab athraf
- Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnbya kedalam sebuah kitab yang tertentu.

IV. Pembagian Ilmu Hadits

Ilmu hadits dibagi menjadi dua : Hadits Riwayah dan Hadits Dirayah (mushthalahul hadits)
a. Hadits Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan apa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya.

Yaitu bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau menuliskan dalam kitab hadits. Dalam menyampaikan dan menuliskan hadits, hanya dinukil dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber ‘illat, apakah sanadnya terputus atau bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas hal ihawa dan sifat sifat perawinya.
Faedah mengetahui ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.

b. Hadits Dirayah adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Ilmu hadits dirayah ini disebut juga ilmu Mushthalahul hadits. Kitab yang dianggap paling ‘mapan’ menerangkan ilmu Mushthalahul hadits adalah kitab “Al-Kilafah” karangan Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (meninggal tahun 463 H).

Faedahnya untuk menetapkan ke sahihan suatu hadits dan untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima (maqbul) untuk diamalkan atau ditolak (mardud) untuk ditinggalkan.



V. Ilmu Mushthalah Hadits

Dalam memperlajari mushthalah hadits atau dalam menentukan derajad (ke-sahih-an) suatu hadits akan selalu terkait dalam 3 hal pokok yaitu : Rawi, Sanad dan Matan

Unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah hadits :
a. Rawi
Rawi adalah orang yang menyampaikan hadits, contoh dalam hadits :
Warta dari ummul Mukminin Aisyah ra, ujarnya : “Rasulullah telah bersabda : ‘barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang bukan termasuk urusan (agamaku), maka ia tertolak’.”
(Hadits Riwayat Bukhary – Muslim)

dalam hadits diatas Aiysah ra adalah rawi pertama dan Imam Bukhary dan Imam Muslim adalah rawi terakhir. Antara rawi pertama dan rawi terakhir tentunya ada beberapa rawi lagi yang biasanya tidak disebutkan untuk mempersingkat penulisan.

b. Matan
Matan adalah materi atau isi dari hadits.
Dalam meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi) hadits ada dua jalan, yang keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu :
1. Dengan lafad yang sama persis dari Rasulullah.
2. Dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya.


c. Sanad
Sanad adalah jalan atau jalur transmisi yang menghubungkan materi hadits (matan) kepada Rasulullah saw.
Misalnya seperti kata Imam Bukhary :
“Telah mewartakan kepadaku Muhammad Bin al-Mutsanna, ujarnya : ‘Abdul Wahhab ats-tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ujarnya : Telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda : ‘Tiga perkara, yang barang siapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman, yakni : 1. Allah dan Rasul-NYA hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2. Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan 3. Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke neraka’.”

Dalam hal ini materi hadits diterima oleh Imam Bukhary dari sanad pertama Muhammad Bin al-Mutsanna, terus bersambung sampai dari sanad terakhir yaitu sahabat Anas ra.
Dengan demikian Imam Bukhary menjadi sanad pertama bagi kita dan sebagai rawi terakhir pada hadits tersebut diatas.

Dalam ilmu hadits sanad ini merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu hadits. Andaikata salah satu rawi dalam jalur transmisi (sanad) itu ada yang fasik atau tertuduh dusta maka hadits tersebut menjadi dhaif (lemah).


5.1. Pembagian Derajad / Jenis Hadits

Pembagian hadits ahad berdasarkan derajad ke sahihan :
a. Sahih
b. Hasan
c. Dhoif

A. Hadits Sahih

Hadits sahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber ‘illat dan tidak janggal (syadz)

Jadi suatu hadits dapat dikatakan sahih apabila memenuhi lima persyaratan :
1. Semua rawinya adil.
2. Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
3. Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
4. Tidak ber ‘iilat (cacat tersembunyi)
5. Tidak janggal (Syadz)

Keadilan Rawi
Keadilan seorang rawi menurut Ibnu Sam’any harus memenuhi empat syarat :
1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat.
2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatan penyesalan.
4. Tidak mengikuti pendapat salah satu sekte yang bertentangan dengan syara’.

Sebab-sebab yang menggugurkan keadilan seorang rawi :
1. Diketahui dusta.
2. Tertuduh dusta.
3. Fasik.
4. Tidak dikenal (jahalah)
5. Penganut sekte bid’ah yang terang terangan dan bersangatan membela paham bid’ahnya.
Ulama-ulama hadits menerima periwayatan tokoh-tokoh syiah yang dikenal benar dan kepercayaan.

Perawi yang tidak langsung ditolak periwayatannya :
a. Orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
b. Orang yang banyak kesilapan dan menyalahi imam-imam yang kenamaan/kepercayaan.
c. Orang yang banyak lupa.
d. Orang yanng rusak akal (pikun) di masa tuanya.
e. Orang yang tidak baik hafalannya.
f. Orang yang menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orang kepercayaan maupun yang tidak kepercayaan.

Kalau ada pertanyaan : ‘Bagaimana mengetahui keadilan seorang rawi ?’. Jawabannya adalah dengan mempelajari ilmu Jarh wat Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan penilaian adil kepada seorang rawi. Menurut Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib Ilmu Jarh wat Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.

Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari tiga kaidah berikut :
1. Semua sahabat nabi adalah adil, baik yang terlibat dalam masa pertikain dan peperangan antar sesama kaum muslimin ataupun yang tidak terlibat.
Sahabat nabi adalah semua orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih hidup dan dalam keadaan Islam lagi beriman.
2. Dengan kepopulerannya dikalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil, seperti Anas Bin Malik, Sufyan Ats Tsaury, Syub’ah bin Al Hajjaj, Asy Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal, dsb.
3. Dengan pujian dari seseorang yang adil, yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh seorang yang adil, yang semula rawi itu belum dikenal atau belum populer sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan (tidak adil) juga dapat ditentukan dengan kepopulerannya sebagai orang yang mempunyai cacat sifat adilnya atau berdasarkan pentarjihan dari seseorang yang adil.

Men-ta’dil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawi itu ada kalanya tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) dan adakalanya disebutkan sebab-sebabnya (mufassar). Untuk yang tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) diperselisihkan oleh para ulama tentang diterima atau tidaknya, tapi jumhur ulama menetapkan bahwa men-ta’dil-kan tanpa menyebut sebab-sebabnya diterima, karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu mubadzir. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.

Tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi masih diperselisihkan apakah minimal dua orang atau cukup satu orang saja.

Bila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama men-tajrih-kan, maka masih diperselisihkan tapi jumhur ulama berpendapat Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah yang men-ta’dil-kan lebih banyak daripada yang men-jarh-kan. Sebab bagi orang yang men-jarh-kan tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan, dan kalau orang yang men-jahr-kan dapat membenarkan orang yang men-ta’dil-kan tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang orang yang men-jahr-kan memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan.

Perlu diperhatikan juga penilaian jahr oleh beberapa Muhaditsin yang terkenal keterlaluan dan berlebihan dalam men tajrih seorang rawi, yaitu Abu Hatim, An Nasa’iy, Yahya Bin Ma’in, Yahya Bin Khaththan dan Ibnu Hibban.

Kitab-kitab yang membahas jahr dan ta’dil rawi-rawi hadits yang terkenal diantaranya :
- Ad-Dlu’afa’ karya Imam Bukhary.
- Lisanu’l Mizan karya Al-hafidz Ibnu Hajar Asqolany.


Kesempurnaan ingatan Rawi

Yang dimaksud sempurna ingatan (dlabith) adalah orang yang kuat ingatannya, artinya ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang sampai mempunyai ingatan (hafalan) yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendaki orang tersebut disebut dlabith’ush-shadri. Kalau berdasarkan buku catatan disebut dlabithu’l kitab.

Cacat-cacat yang merusakkan ke sahihan hadits :
a. Terlalu lengah dalam penerimaan hadits.
b. Banyak salah dalam meriwayatkan hadits.
c. Menyalahi orang-orang kepercayaan (syadz).
d. Banyak berperasangka.
e. Tidak baik hafalannya.

Sanad bersambung-sambung tidak putus

Yang dimaksud sanadnya bersambung-sambung tidak putus yaitu sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberikannya.

Untuk mengetahui apakah sanad hadits itu bersambungan tidak putus atau tidak perlu mempelajari dua macam ilmu yaitu : Ilmu Rijalil Hadits, ilmu Thabaqoh Ruwah dan Ilmu Tawarihi Ruwah.

Ilmu Rijalil Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas hal-ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.

Ilmu Thabaqoh Ruwah adalah ilmu yang membahas pengelompokan sahabat nabi dalam kelompok (thabaqoh) yang tertentu. Thabaqoh pertama : sahabat yang pertama masuk Islam, thabaqoh kedua : sahabat yang masuk Islam sebelum musyawarah orang musyrik Mekkah di Darun Nadwah yang berencana membunuh Nabi Muhammad saw, thabaqoh ketiga : sahabat yang hijrah ke habsy, thabaqoh keempat : sahabat peserta bai’at aqabah pertama, thabaqot kelima : sahabat yang menghadiri bai’at aqobah kedua, thabaqoh keenam : Muhajirin yang menyusul Nabi di Quba sebelum memasuki Madinah, thabaqoh ketujuh : sahabat peserta perang Badar, thabaqot kedelapan : sahabat yang hijrah ke Madinah setelah perang Badar, tahbaqot kesembilan : sahabat yang menghadiri bai’at baitur ridwan, thabaqot kesepuluh : sahabat yang hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah sebelum futuh Mekkah, thabaqot kesebelas : sahabat yang masuk Islam setelah futuh Mekkah, thabaqot kedua belas : anak-anak yang melihat Nabi Muhammad saw setelah Futuh Mekkah dan haji wada’.

Kitab terbaik yang membahas sejarah, hal-ihwal dan thabaqot sahabat adalah kitab “Al-Isabah” karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.

Ilmu Tawarihi Ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para rawi hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadits, mencakup keterangan tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, kapan tanggal mendengar dari gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya, perantauannya, tanggal kunjungannya ke negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits dari sebagian guru, sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan sebagainya yang ada hubungannya dengan masalah per haditsan.

Kitab-kitab ilmu Tawarihi Ruwah yang tekenal diantaranya :
- At-Tarikh’ul-Khabir karya Imam Bukhary. Berisi biografi 40.000 perawi hadits.
- Tarikh Nishabur karya Imam Muhammad Bin Abdullah Al-Hakim An-Nishabury. Kitab ini merupakan kitab tarikh terbesar yang banyak faedahnya.
- Tarikh Baghdad karya Imam Al-Khatib Al-Baghdady. Kitab ini memuat biografi ulama-ulama sebanyak 7.831 orang.

‘illat (cacat tersembunyi)

‘Illat hadits adalah cacat tersembunyi yang dapat menodai kesahihan suatu hadits, yaitu :
a. Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur (tidak disebutkan) sahabat yang meriwayatkannya. Hadits seperti ini disebut hadits mursal.
b. Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur salah seorang rawinya. Hadits seperti ini disebut hadits munqathi’.
c. Adanya sisipan yang terdapat pada matan hadits.

Kejanggalan Hadits

Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (dapat diterima) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.

Klasifikasi Hadits Sahih :

Hadits sahih dibagi menjadi dua bagian : sahih li-dzatih dan sahih li-ghairih.

Sahih li-dzatih adalah hadits sahih yang memenuhi syarat-syarat hadits sahih diatas.
Sahih li-ghairih adalah hadits sahih yang diantara perawinya ada yang kurang dlabith, tetapi mempunyai sanad lain yang lebih dlabith.

B. Hadits Hasan

Hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya (kurang dlabith), bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.

Klasifikasi hadits hasan : hasan lidzatih dan hasan li-ghairih.

Hadits hasan li-dzatih adalah hadits hasan yang memenuhi syarat hadits hasan diatas.

Hadits hasan li-ghairih adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.

Hadits hasan derajadnya dibawah hadits sahih.

Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu Taimiyah hadits hasan adalah hadits yang banyak jalan datangnya dan tidak ada dalam sanadnya yang tertuduh dusta dan tidak pula janggal (syadz).

Dibawah hadits hasan ada yang lebih rendah derajadnya yaitu hadits dhaif.

Menurut Imam Nawawi : “Hadits dhaif yang banyak jalan dan saling menguatkan bisa naik menjadi hadits hasan”. Yaitu hasan li-ghairih, tapi ke dhaifannya bukan karena ada rawi yang tertuduh dusta atau fasiq. Maka dengan demikian dapat diamalkan berdasarkan kumpulannya, bukan berdasarkan kepada satu per satunya.


C. Hadits Dhaif

Hadits dhaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih atau hadits hasan.

Berdasarkan dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah hadits diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a. Hadits Maqbul : yaitu hadits yang dapat diterima
b. Hadits Mardud : yaitu hadits yang ditolak dan tidak dapat diterima.

Hadits sahih dan hasan adalah hadits yang maqbul.
Yang termasuk hadits mardud (ditolak) adalah segala macam hadits dhaif

Klasifikasi hadits dhaif :
a. Dari jurusan sanad, dibagi dua
Pertama : Cacat pada rawi, tentang keadilan dan kedlabitannya.
Kedua : Sanadnya tidak bersambung, karena ada rawi yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.

Pertama, cacat pada keadilan dan ke dlabitan rawi ada 10 macam :
1. Dusta, hadits dhaif yang karena rawinya dusta, disebut Hadits maudlu’
2. Tertuduh dusta, hadits dhaif yang rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
3. Fasik, yaitu pelaku dosa besar, atau melakukan dosa kecil dengan terang-terangan dan sering.
4. Banyak salah, yaitu dalam meriwayatkan haditsnya.
5. Lengah dalam hafalan, hadits dhaif yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadits munkar.
6. Banyak purbasangka (waham), hadits dhaif yang karena rawinya waham disebut hadits mu’allal.
7. Menyalahi riwayat orang kepercayaan;
- Dengan penambahan suatu sisipan, disebut hadits mudraj.
- Dengan memutarbalikkan, disebut hadits maqlub.
- Dengan menukar-nukar rawi, disebut hadits mudltharib.
- Dengan perubahan syakal huruf, disebut hadits muharraf.
- Dengan perubahan titik-titik kata, disebut hadits mushahhaf.
8. Tidak diketahui identitasnya (jahalah), disebut hadits mubham.
9. Penganut bid’ah (sekte sempalan), hadits dhaif yang rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud.
10. Tidak baik hafalannya, disebut hadits syadz dan mukhtalith.

Kedua : Cacat karena sanadnya ada yang gugur :
1. Yang digugurkan sanad pertama, disebut hadits mu’allaq.
2. Yang digugurkan sanad terakhir (sahabat), disebut hadits mursal.
3. Yang digugurkan dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadits mu’dlal.
4. Yang digugurkan tidak berturut-turut, disebut hadits munqathi.

b. Dari jurusan matan, dibagi dua :
1. Hadits mauquf, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan sahabat tidak sampai kepada Nabi, misalnya “Berkata Umar …..”
2. Hadits maqthu’, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan tabi’in, misalnya, “Berkata Said Ibn Musayyab ….. “


Pembagian hadits berdarkan banyaknya jalur periwayatan (sanad)
a. Hadits Mutawatir
b. Hadsis Masyhur
c. Hadits Ahad
- hadits azis
- hadits gharib

Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin bahwa mereka itu telah sepakat untuk berdusta. Syarat hadits mutawatir :
1. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil pemikiran, rangkuman atau dugaan.
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai bilangan yang mampu mencapai ilmu’dl-dlarury (meyakinkan).
3. Ada keseimbangan antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya ada hadits yang diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5 orang tabiin dan seterusnya diriwayatkan oleh 3 orang tabi’it-tabi’in maka hadits tersebut tidak termasuk hadits mutawatir, karena jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara lapisan pertama dengan lapisan kedua dan ketiga.
Kitab yang menghimpun segala hadits mutawatir yang terkenal adalah kitab Al-Azharu’l Mutanatsirah fi’l Akhbari Mutawatirah, karya Imam As Suyuthi (911 H).

Hadits mutawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni meyakinkan dan harus menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir karena membawa kepada keyakinan yang qoth’i (pasti). Rawi-rawi hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedlabithannya.

Hadits Masyhur adalah hadits yang terdiri lapisan perawi yang pertama atau lapisan kedua, dari orang seorang, atau beberapa orang saja. Sesudah itu barulah tersebar luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang tak dapat disangka bahwa mereka sepakat untuk berdusta. Jumhur ulama hadits mensyaratkan minimal 3 orang perawi.

Ulama-ulama mazhab hanafi men-takhsis-kan (meng khusus kan) ayat Al-Qur’an yang umum dengan hadits masyhur ini dan menambah hukum-hukum yang belum terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits ahad yang belum mencapai derajad hadits masyhur tidak dapat digunakan untuk fungsi ini.

Imam Malik menjadikan hadits ahad pen takh sis Al-Qur’an dengan syarat jika dikuatkan oleh amal penduduk Madinah atau oleh Qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menggunakan hadits ahad untuk mentakhsis ayat Al-Qur’an.

Hadits Ahad adalah segala hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat sebab-sebab yang menjadikannya masyhur.

Hadits Azis adalah hadits yang rentetan perawinya terdiri dari dua-dua orang atau pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang saja.

Hadits Garib adalah hadits yang dalam sanadnya ada seorang rawi yang menyendiri, di lapisan mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal : “Jangan kamu mencatat hadits hadits gharib, lantaran hadits-hadits gharib itu mungkar-mungkar dan pada umumnya berasal dari orang-orang lemah”.


Pembagian Hadits yang bersambung sanadnya :
a. Hadits Musnad, yaitu tiap-tiap hadits marfu’ yang sanadnya bersambung
b. Hadits Muttashil/Maushul, yaitu hadits yang bersambung sanadnya, ada yang marfu’, mauquf atau maqthu’

5.2. Berhujah dengan hadits / Mengamalkan Hadits

A. Hadits Mutawatir
Mutlak harus diterima bulat-bulat, karena memberikan keyakinan secara ilmul-dlarury.

B. Hadits Masyhur
Mutlak dapat dipakai hujjah atau diamalkan, dapat dijadikan pen-takhsish (meng khususkan) ayat Al-Qur’an yang umum (‘Am)

C. Hadits Ahad
Apabila sahih mempunyai sifat dapat diterima yang tinngi, apabila hasan mempunyai sifat dapat diterima yang menengah / rendah, dapat diamalkan dalam urusan-urusan amal bukan dalam urusan i’tiqad.
Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad untuk men takhsis dan menasakh ayat Al-Qur’an.
Imam Malik menjadikan hadits ahad untuk men takhsish dan menasakh Al-Qur’an jika dikuatkan oleh amalan penduduk Madinah atau oleh qiyas.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hanbal menjadikan semua hadits ahad untuk men takhsish Al-Qur’an.

D. Hadits Dha’if
Dalam hal berhujah dengan / mengamalkan hadits dha’if, terbagi dalam 3 pendapat :
a. Melarang secara mutlak , itu pendapat Imam Bukhary dan Abu Bakar Ibnu Araby.
b. Membolehkan, yaitu bila dha’ifnya tidak terlalu dan khusus untuk menerangkan fadlilah amal, yang isinya mendorong berbuat baik, mencegah perbuatan buruk, cerita-cerita dan perkara-perkara mubah. Bukan untuk menetapkan masalah hukum-hukum syariat seperti halal-haram, akidah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad Bin Hanbal, Abdurrahman Bin Mahdy, Abdullah Ibn Mubarak, mereka berkata :
“Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah sanadnya dan kami perlunak rawi-rawinya”

Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah dengan hadits dha’if untuk keutamaan amal, dengan memberikan 3 syarat :
1. Hadits Dha’if yang tidak terlalu. Dha’if yang karena rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah.
2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits tersebut masih selaras dengan dasar yang dibenarkan oleh hadits yang lebih sahih.
3. Dalam mengamalkannya tidak meng ‘itiqadkan bahwa hadits tersebut benar benar dari Nabi, tetapi tujuannya mengamalkan hanya semata-mata untuk ikhtiyat (hati-hati).

E. Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi pada tingkatan sahabat. Jadi perawi tabi’in tidak menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits kepadanya.

Bila perawi yang gugur (tidak disebutkan) sebelum sahabat , baik tabi’in atau selainnya, bila satu orang yang gugur dinamakan hadits munqathi’, bila dua orang yang gugur disebut hadits mu’dlal.

Berhujah dengan hadits Mursal, terdapat perbedaan pendapat, sebagian menolak dan menganggapnya sebagai hadits dha’if, sebagian menerima dan menganggapnya sebagai hadits musnad, tetapi jumhur ulama hadits menerima hadits mursal tapi dengan syarat;

Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal, bila yang meng irsal kan itu sahabat atau tabi’in. Irsal yang sesudah tabi’it-tabi’in ditolak.

Imam Malik menerima segala hadits mursal dari orang yang kepercayaan (tsiqoh).
Imam Syafi’ii hanya menerima hadits mursal dari periwayatan Said Bin Musayyab dan Hasan Al Basri.
Imam Ahmad Bin Hanbal lebih mengutamakan fatwa sahabat dari pada menerima hadits mursal.

5.3. Bagan Jenis / Derajad Hadits

Bagan
Jenis / Derajad Hadits

I. Mutawatir II. Masyhur III. Ahad
Ada yang Maqbul ada yang Mardud


Maqbul Mardud


1. Sahih 2. Hasan 3. Dhaif *) 5. Masyhur 3. Dhaif 4. Maudlu
6. Azis
a. sahih b. sahih a. hasan b. hasan 7. Gharib
lidzatih lighairihih lidzatih lighairihih 8. Muttabi’
9. Syahid
10. Marfu’
11. Musnad
12. Maushul/Muttashil
a. Mutawatir b. Mutawatir c. Mutawatir 13. Mauquf
Lafdhy ‘amali ma’nawy 14. Mahfudh
15. Syadz
16. Ma’ruf
17.Munkar
18. Muhkam
19. Mutasyabih
*) Dengan catatan :
- Dhoif yang tidak terlalu
- Bukan masalah hukum
- Bukan masalah akidah / halal-haram
- Menerangkan Fadhilah amal
- Janji surga dan ancaman siksa neraka
- Cerita cerita atau masalah yang mubah
20. Mukhtalif
21. Nasikh
22. Mansukh
23. Rajih
24. Marjuh
25. Maqthu
26. Mursal
27. Munqathi
28.Mu’dlal/Musykil
29. Mu’allaq
30.Mudallas
31. Mu’allal
32. Mudltharab
33. Matruk
34. Mudraj
35. Maqlub
36. Musalsal
37. Mu’an’an
38. Mushahaf
39. Muannan
40. Mudabbaj 44. Nazil.
41. Sabiq 45. Mubham
42. Lahiq 46. Muharraf
43. ‘Ali 47. Qudsy
5.4. Pertentangan Hadits

A. Pertentangan Hadits dengan Al-Qur’an
Sebagian ulama menolak hadits yang bertentangan dengan Al-Qur’an :
- Ada sebuah atsar menyebutkan : “Abu Bakar Shiddiq ra. mengumpulkan para sahabat dan menyuruh mereka menolak hadits yang berlawanan dengan Al-Qur’an”.
- Umar Bin Khattab ra. pernah menolak hadits riwayat Fatimah Binty Qeys yang menerangkan, bahwa istri yang ditalaq habis, tidak berhak diberikan nafkah dan tempat lagi, karena bertentangan dengan ayat Ath Thalaq dalam Al-Qur’an, dan Umar ra berkata : “tidaklah saya mau meninggalkan kitabullah lantaran perkataan seorang wanita yang boleh jadi benar boleh jadi salah”.
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhory, Muslim, Turmudzy dan An Nasay dari Masruq, ujarnya : “Aku berkata kepada ‘Aisyah Ummul Mukminin, apakah Muhammad ada melihat tuhannya ? ‘Aisyah menjawab : ‘Bangun bulu romaku mendengar perkataanmu, dimana engkau dari tiga perkara, barang siapa menceritakan yang tiga itu pasti berdusta :
a. Barang siapa menceritakan bahwa Muhammad melihat tuhannya, adalah dusta, karena firman Allah :
“Tiada dapat dilihat Dia oleh segala pandangan dan Dia melihat segala pandangan, dan Dia itu Maha lembut lagi Maha mengetahui” (QS Al An’am : 103).
b. Barang siapa menceritakan, bahwa dia mengetahui apa yang terjadi esok hari, berdusta, Allah berfirman :
“Tak ada yang seorangpun dapat mengetahui apa yang ia kerjakan esok hari” (QS Lukman : 31).
c. Barang siapa menceritakan, bahwa Muhammad ada menyembunyikan sesuatu wahyu, maka ia berdusta, karena Allah berfirman :
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan pada engkau dari Tuhan engkau, Jika engkau tidak menyampaikan berarti engkan tidak menyampaikan risalah Allah, dan Allah memelihara engkau dari manusia bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum yang kafir “ (QS Al Maidah : 67).

B. Pertentangan antar hadits.
Ulama yang pertama kali membahas tentang hadits yang saling bertentangan adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya “mukhtaliful hadits”. Apabila kita mendapati dua buah hadits makbul yang saling bertentangan (menurut lahirnya), maka :
1. Diusahakan untuk mengumpulkannya (mengkompromikan).
2. Kalau usaha ini gagal, hendaklah dicari mana diantara hadits yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Hadits yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakh, disebut hadits mansukh dan yang menasakhnya disebut hadits nasikh.
Untuk mengetahui mana hadits yang nasikh dan mana hadits mansukh nya, dapat diketahui dari beberapa jalan, antara lain :
a. Penjelasan dari syar’i sendiri, contoh :
“Konon aku pernah melarangmu menziarahi kubur. Kemudian ziarahlah. Dan konon aku pernah melarangmakandaging binatang kurban selama lebih tiga hari, kemudian makanlah sesukamu” (HR Muslim).
b. Penjelasan dari Sahabat
Jabir berkata : “yang terakhir dari dua kejadian yang berasal dari Rasulullah saw ialah meninggalkan wudlu’ bekas tersentuh api”.
c. Diketahui tarikh keluarnya hadits :
Hadits riwayat Syaddad :
“Batallah puasa orang yang membekam dan orang yang dibekam” (HR Abu Dawud).

Menurut Imam Syafi’ii telah di nasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas ra :
“Bahwa Rasulullah saw sedang berbekam, padahal beliau sedang ihram dan berpuasa”.(HR Muslim).
Disebabkan hadits Syaddad tersebut disabdakan oleh Nabi pada tahun 8 H, yakni saat-saat dikuasainya kembali kota Mekkah, sedang hadits Ibnu ‘Abbas disabdakan pada tahun 10 H, yakni pada haji Wada’.

Imam Syarajuddin Al-bulqiny menyusun ilmu cabang dari ilmu hadits mengenai awal atau akhirnya dikeluarkan suatu matan hadits dalam kitab yang diberi nama “Mahasinu’l-ishthilah”.

1. Kalau usaha mencari nasikhnya tidak pula berhasil, beralih kepada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad maupun matannya, untuk ditarjihkan. Hadits yang kuat disebut hadits rajih, sedang yang ditarjihkan disebut hadits marjuh.
Contoh : hadits riwayat Ibnu Abbas ra :
“Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al Harits pada waktu beliau ihram”.

Hadits tersebut ditarjihkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Rafi’ yang mengabarkan :
“Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al-Haris pada waktu beliau tahallul”.

Hadits ‘Abi Rafi’ lebih rajih daripada hadits Ibnu ‘Abbas karena Abi Rafi’ sendiri bersama-sama pergi dengan Rasulullah saw dan Maimunah disaat itu dan kebanyakan sahabat meriwayatkan seperti hadits Abi Rafi’.

Mentarjihkan hadits itu, dapat ditinjau dari beberapa jurusan :
1. Jurusan sanad, misalnya :
a. Hadits yang rawinya banyak, merajikan hadits yang rawinya sedikit.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh rawi besar merajihkan hadits yang diriwayatkan oleh rawi kecil.
c. Hadits yang rawinnya tsiqah merajikan hadits yang rawinya kurang tsiqah.
2. Jurusan matan, misalnya :
a. Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan hadits yang mempunyai arti majazi.
b. Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi merajikan hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.
3. Jurusan hasil penunjukan (madlul), misalnya :
Madlul yang positip merajihkan yang negatip.
4. Jurusan dari luar, misalnya :
Dalil yang qauliah (berdasarkan perkataan), merajikan dalil yang fi’liyah (berdasarkan perbuatan).

1. Kalau usaha inipun gagal, kedua hadits tersebut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya. Hadits yang di tawaqquf kan ini disebut hadits mutawaqqaf-fihi . Hadits yang dibekukan ini menurut sebagian ulama dapat diamalkan salah satu, dan ada pula yang berpendapat bisa diamalkan berganti-ganti dalam waktu yang berbeda.

Hadits yang mengandung pertentangan disebut hadits mukhtalif.





5.5. Hadits Maudlu’ (palsu)

Hadits maudlu’ adalah hadits yang diciptakan serta dibuat oleh seseorang (pendusta) yang diciptakan itu disandarkan kepada Rasulullah saw secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.

Seorang rawi yang diketahui pernah berdusta dengan menyandarkan riwayatnya kepada Rasulullah saw walaupun sekali dalam seumur hidup, riwayatnya tidak dapat diterima, walaupun telah ber taubat sekalipun.

Ciri Ciri Hadits Palsu :
1. Dari pengakuannya sendiri, seperti pengakuan seorang guru tashawuf yang berkata : “tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi kami melihat manusia sama meninggalkan Al-Qur’an, maka kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an”.
2. Petunjuk yang memperkuat adanya kedustaan, misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahrikan.
3. Petunjuk dari tingkah lakunya, seperti yang pernah dilakukan oleh Ghiyat bin Ibrahim dikala berkunjung ke istana Khalifah Al-Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati, katanya :
“Tidak syah perlombaan selain : mengadu anak panah, mengadu kuda atau mengadu burung”.
Perkataan au janahin (atau mengadu burung) adalah perkataan Ghiyats sendiri, yang spontan ia tambahkan di akhir hadits yang ia ucapkan, dengan maksud membesarkan hati Khalifah yang sedang mengadu burung merpati.
4. Dari segi matan, maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits mutawatir, Ijma’ dan logika sehat
5. Menukil kata mutiara (adagium) orang orang yang dipandang alim yang kemudian disandarkan itu adalah berasal dari Rasulullah saw.

Motif-Motif yang Mendorong Membuat Hadits Palsu :
1. Untuk memperkuat partainya, Syiah Rafidah dikenal paling banyak membuat hadits palsu.
2. Untuk merusak / mengeruhkan agama Islam, seperti Hasan Bin Saba’ dan orang Persia-Majusi yang benci dan dengki terhadap hegemony Arab-Islam, tokoh-tokoh zindiq yang ber akidah sesat.
3. Untuk nasihat dan menarik minat hati manusia, contohnya hadits yang berlebihan dalam menerangkan pahala amal.
4. Fanatik kesukuan, kultus imam, individu, dsb
5. Mempertahankan mazhab fikih ikhtilaf.
6. Mencari muka dihadapan penguasa, contohnya hadits Ghiyats diatas.
7. Kejahilan dalam ilmu agama disertai kemauan keras untuk berbuat kebaikan.


VI. Kutubus Sittah (enam kitab induk) dan pengarangnya

Disebut kitab induk karena inilah kitab-kitab hadits yang oleh jumhur ulama dinilai paling tinggi mutunya diantara semua kitab hadits yang ada, disusun urut mulai yang paling tinggi mutunya terus kebawah :

1. Sahih Bukhary (Al Jami’ush Sahih Al Musnadu Min Haditsi Rasul saw).
Penulisnya adalah Imam Bukhary (194 H – 252 H / 810 M – 870 M), kelahiran Bukhara di Uzbekistan, kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Sejak umur 10 tahun sudah tertarik mendalami hadits, berkelana hampir ke seluruh kota kota besar Wilayah Daulah Islam untuk mencari hadits. Mempunyai hafalan yang luar biasa, beliau hafal sampai ratusan ribu hadits beserta semua rawi-rawinya.
Kitab Sahih Bukhory disusun dalam waktu 16 tahun, terdiri dari 2.602 yang tanpa diulang-ulang. Setiap menuliskan hadits dalam kitab sahihnya, beliau melakukan sholat sunnah 2 rokaat.

Kitab Syarah (penjelasan secara panjang lebar) Sahih Bukhory yang terbaik adalah Fathul Bary karya Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.

Jumhur ulama sepakat menilai kitab Sahih Bukhory ini paling tinggi tingkat ke sahihan dan mutunya.

2. Sahih Muslim
Penulisnya adalah Imam Abul Husain Muslim Bin Hajaj Al Qusyairy (204 H-261 H / 820 M-875M), murid imam Bukhary. Sama seperti gurunya beliau berkelana hampir ke seluruh kota kota besar dalam mencari hadits. Walaupun tingkat kesahihan dan mutu haditsnya masih dibawah Sahih Bukhary, tetapi sistematika penulisannya lebih baik bila dibandingkan dengan kitab Sahih Bukhary, karena lebih mudah mencari hadits didalamnya. Kitab Sahih Muslim berisi sekitar 4.000 hadits yang tidak diulang-ulang.

Kitab syarah nya yang terbaik adalah Minhajul Muhadditsin, karya Imam Nawawi.

3. Sunan An Nasay (Al Mujtaba Minas Sunan / Sunan-sunan pilihan)
Penulisnya adalah Imam Abu ‘Abdir Rahman Ahmad Bin Syu’aib bin Bahr (215 H-303 H / 839 M-915 M). Mulanya kitab sunan ini diserahkan kepada seorang Amir di Ramlah, Amir itu bertanya , “Apakah isi sunan ini sahih seluruhnya ?”, Imam An Nasay menjawab : “Isinya ada yang sahih, ada yang hasan, ada yang hampir serupa dengan keduanya.” Kemudian sang Amier berkata lagi “Pisahkanlah yang sahih saja”. Sesudah itu An Nasay pun menyaring sunannya dan menyalin yang sahih saja dalam sebuah kitab yang dinamai Al Mujtaba (pilihan).

4. Sunan Abu Dawud
Penulisnya adalah Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats Bin Ishaq As-Sijistany (202 H-275 H / 817 M- 889 M). Beliau mengaku mendengar hadits sampai 500.000 buah, kemudian beliau seleksi dan ditulis dalam kitab sunan nya sebanyak 4.800 buah dan beliau berkata : “Saya tidak meletakkan sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan sahih, semi sahih, mendekati sahih, dan jikadalam kitab saya tersebut terdapat hadits yang sangat lemah maka saya jelaskan. Adapun yang tidak saya beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut bernilai sahih dan sebagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang lain.”

5. Sunan At Turmudzy
Penulisnya adalah Imam Abu ‘Isa Muhammad Bin Isa Bin Surah (200 H-279 H / 824 M- 892 M), termasuk murid Imam Bukhary. Beliau berkata : “Aku tidak memasukkan ke dalam kitab ini terkecuali hadits yang sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh sebagian fukaha”. Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang sahih dan yang tercacat serta sebab-sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana yang diamalkan dan mana-mana yang ditinggalkan. Kitab Sunan Turmudzy isinya jarang yang berulang-ulang.

6. Sunan Ibnu Majah
Penulisnya adalah Imam Abdu Abdillah Bin Yazid Ibnu Majah (207 H- 273H / 824 M- 887 M), berasal dari kota Qazwin di Iran. Dalam kitab sunan Ibnu Majah ini terdapat beberapa hadits dhaif, gharib dan ada yang munkar. Al Hafidz Al-Muzy menilai kitab Al Muwaththa karya Imam Malik lebih tinggi mutunya dari Sunan Ibnu Majah, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa kitab induk yang ke enam adalah Sunan Ad Darimy, Ahmad Muhammad Syakir berpendapat Al Muntaqa karya Ibnu Jarud lebih pantas menjadi yang ke enam.

Kitab-Kitab Hadits yang lain yang penting :
- Sunan Ad Darimy
- Al Muntaqa karya Ibnu Jarud
- Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal, aslinya bernilai tinggi, tetapi setelah Imam Ahmad wafat, anaknya Abdullah dan muridnya Abu Bakr Al Qathi’y menambahkan beberapa hadits lagi, hingga didalamnya tersisip banyak hadits dhaif dan ada empat buah hadits maudlu’.
- Al Muwaththa, karya Imam Malik. Mengandung hadits mursal dan munqathy yang dipandang sahih untuk diamalkan oleh Imam Malik.
- Sahih Ibnu Khuzaimah, mengumpulkan hadits sahih yang tidak dimuat dalam sahih Bukhary dan Sahih Muslim.
- Mustadrak Imam Hakim
- Dan masih ada beberapa kitab-kitab hadis yang lainnya.


VII. Ilmu-Ilmu Cabang Dari Ilmu Hadits

Ilmu-ilmu pendukung lainnya yang merupakan cabang dari ilmu hadits yang perlu dipelajari juga untuk memahami hadits adalah :

1. Ilmu Rijalil Hadits
Ilmu untuk mengetahui sejarah dan hal-ihwal sahabat, tabiin dan tabi’it tabi’in.
2. Ilmu Tawarikhir Ruwah
Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per haditsan.
Kitab Tawarikhir Ruwah yang terkenal “At-Tarikhu’l-Kabir” karya Imam Bukhary dan “Tarikh Baghdad” karya Imam Al Khatib Baghdady.
3. Ilmu Thabaqotur Ruwah
Ilmu yang pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang (rawi) yang berserikat dalam suatu alat pengikat yang sama.
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya “Thabaqatur Ruwah” karya Al Hafidz Abu ‘Amr Khalifah Bin Khayyath Asy Syaibany.
4. Ilmu Jarh wa Ta’dil
Ilmu yang membahas hal-ihwal (keadilan, ke-tsiqoh-an) para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya “Al Jarhu wat Ta’dil” karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy.
5. Ilmu Gharibil Hadits
Ilmu untuk mengetahui lafadh-lafadh dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipahami, karena jarang sekali digunakan.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Al-Faiqu fi Gharibi’l Hadits” karya Imam Zamakhsyary.
6. Ilmu Asbabul Wurudi’l Hadits
Ilmu yang menerangkan sebab sebab dan latar belakang lahirnya hadits.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Al Bayan wat Ta’rif fi asbabi Wurudil Haditsisy-Syarif” karya Ibnu Hamzah Al Husainy.
7. Ilmu Tawarikhu’l Mutun
Ilmu yang menitik beratkan kapan dan dimana atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau peebuatan itu dilakukan Rasulullah saw.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Mahasinu’l Ishthilah” karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amar Bin Salar Al-Bulqiny.
8. Ilmu Nasikh Mansukh Hadits
Ilmu yang membahas hadits yang menghapus (nasikh) hadits lain yang dihapus (mansukh)
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Nasikhu’l Hadits Wa Mansukhuhu” karya Al Hafidz Abu bakar Ahmad Bin Muhammad Al Atsram.
9. Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya “Musykilu’l Hadits wa Bayanuhu” karya Abu Bakr Muhammad Bin Al Hasan (Ibnu Furak) Al Anshary Al Asbihany.
10. Ilmu ‘Ilalil Hadits.
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatan suatu hadits. Seperti me-muttashil-kan (menganggap bersambung) sanad hadits yang sebenarnya sanad itu munqathy (terputus), merafa’kan (mengangkat sampai kepada nabi) berita yang mauquf (yang berakhir kepada sahabat). Menyisipkan suatu hadits pada hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya dan sebagainya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya “’Ilalu’l Hadits” karya Imam Ahmad Bin Hanbal dan “AL-‘Ilal Waridah fi’l Ahaditsin Nabawiyah karya Al Hafidz Ali Bin Umar Ad Daraquthny.


  

Reference :
1. Ikhtishar Mushthalahul Hadits, author : Drs. Fatchur Rahman, published by : PT. Alma’arif Bandung.
2. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, author : Teungku Moh. Hasbi Ash Shiddieqy, published by : PT. Pustaka Rizki Putra Semarang.